
*Ilustrasi: Abduh Rafif Taufani (@yth.rafif)
Pembaca ingat beberapa hari ini Presiden Jokowi dituduh macam-macam karena mengundang para selebtwit ke istana? Kelompok seberang menganggap ini sebagai “balas budi” Jokowi atas jasa mereka sebagai buzzer. Benar-tidaknya tudingan itu bukanlah urusan kita, biarlah itu abadi di hati masing-masing.
Tapi begini, sekalipun banyak mudharat dan remuknya kohesi sosial yang tak terbayangkan, salah satu kabar baik dari kompetisi super panas pemilu(kada) adalah tumbuhnya voluntarisme politik. Pendek kata, di sana telah tercipta sikap kesukarelaan, tanpa bayaran dan iming-iming lain. Salurannya bisa macam-macam, termasuk media sosial, termasuk twitter, facebook, dan sejenisnya, termasuk yang dikelola oleh para buzzer itu.
Siapapun barangkali bersepakat jika tingginya sikap voluntaristik atau kesukarelawanan telah mendorong cukup harapan untuk masa depan politik. Dengan itu, situasi politik hari ini tak lagi melulu dibaca secara sinis sebagai pesta pora tim sukses. Sebab, jika tim sukses mempraktikkan langkah dan tekanan-tekanan politik “resmi”, maka relawan menawarkan sebuah spontanisme, suatu refleks politik alamiah yang bebas dari manipulasi. Pergeseran penting ini menguatkan kembalinya kesadaran politik setelah dalam beberapa episode pemilu sebelumnya kesadaran itu terpelanting pada apatisme.
Lha, tapi bagaimana kalau fenomena buzzer itu adalah efek samping dari sikap voluntaristik? Bagaimana kalau mereka ternyata bagian dari tim sukses? Bagaimana kalau, menyitir om Pram, mereka sudah berpihak “sejak dalam pikiran”? Apa betul mereka-mereka ini tak ada faedahnya?
Antitesa Elite
Tumbuh-kembang dari psikologi politik voluntarisme disumbang sebagian besar oleh keyakinan bahwa politik tak boleh dilihat sebagai situs mati; ia harus dirawat dan diperbaiki, oleh tangan “kita” sendiri. Dalam voluntarisme, politik didefinisikan ulang dengan penekanan pada dua kata kunci: perubahan dan “kita”. (Note: pembaca, hamba sesungguhnya malu menggunakan istilah “kita”, karena sejak lama hamba cuma modal dengkul dan biasa titip absen di tiap hajatan pemilu. Harap maklum).
Persis di situ persoalan menyembul, seberapa kuatkah ikatan “kita”? Dan jika kata kunci pertama tak terpenuhi, apa yang lantas dikerjakan oleh “kita”?
Tarikan historis tentang apatisme dapat terlacak mudah sebagai balasan atas politik represif Orde Baru. Orang malas terlibat politik karena khawatir direcoki aparat, dikuntit, dan paling apes, diculik. Tetapi, pelacakan atas voluntarisme dan gejala kemunculannya tidak mudah diidentifikasi. Tidak ada organisasi resmi yang terikat dengan partai atau elite, pun tak ada garis komando struktural atau anggaran dasar yang bisa dikenali. Gejalanya muncul tanpa peringatan, kreatif, dan spontan.
Penting dicatat, ada satu ciri mencolok yang membedakannya dari gerakan politik lain: non-elite. Kalau sampeyan periksa nama-nama seleb dunia maya, yang ngaku jadi relawan dan pada akhirnya juga menjelma menjadi buzzer, sebagian besarnya dari orang-orang biasa, yang kebetulan punya modal cerewet. Mereka bukan elite politik.
Dalam hubungannya dengan itu, voluntarisme sebetulnya mendapatkan tantangan serius justru dari dalam dirinya sendiri. Dalam imajinasi sebagian besar anak muda volunteer, tidak gampang membayangkan sekaligus membandingkan keterbukaan politik masa sekarang dan kesempatan partisipasi di dalamnya, dengan apa yang pernah terjadi pada masa Orde Baru. Kesulitan ini bukannya merugikan. Tanpa bekal pengalaman politik itu, imajinasi tak lengkap ini justru menguntungkan karena berhasil memutus ketergantungan referensial atas masa lalu, dan mengalihkannya ke bayangan masa depan. Orientasi ke depan—dan bukan ke belakang—ini memberi dasar kuat sebuah gerakan voluntaristik, yang tak pernah bisa dicapai oleh elite dalam periode mana pun.
Maka, jika mode orientasi ke depan ini dipakai sebagai titik berangkat, sudah tentu sikap voluntarisme ingin menghapus keragu-raguan yang kerap muncul, bahwa gerak menggebu voluntarisme akan berhenti setelah misi pemenangan pemilu tercapai. Ini sebabnya, voluntarisme tak tertarik untuk bergabung ke dalam lingkaran kekuasaan, dan sebagaimana watak dasarnya, ia memilik sikap menjaga jarak secara harfiah. Artinya, berbeda dengan sikap jaga-jarak kelompok oposisi yang dilahirkan dari kekalahan atas perebutan sumber daya politik, voluntarisme sejak awal tak pernah bercita-cita untuk terlibat masuk secara intens ke dalam struktur politik, sehingga kritisisme dalam situasi jaga-jarak yang dihasilkannya jauh lebih genuine. Paragraf barusan ini memang seperti doa. Amin
Jika kelompok oposisi terikat dengan logika kekuasaan beserta atribut kompromi di dalamnya, semangat voluntaristik muncul dari keleluasaan. Kelompok ini akan menjadi cerewet, kritis, dan sukar dipukul balik. Bahkan sebuah upaya represif dan paling sistematis sekalipun akan kesulitan untuk mendisiplinkan gerakan kreatif yang sporadis, mencair, anonim, dan dikerjakan secara massif. Ini menjelaskan mengapa Jonru bisa melenggang dengan berani tanpa pernah terjerat hukum, meski belakangan ia keder juga diancam pelaporan penghinaan.
Voluntarisme, dengan demikian, adalah kondisi yang sangat langka dalam konstelasi politik modern yang cenderung pragmatis, lebih-lebih pada konteks Indonesia yang bertahun-tahun kering ide-ide politik. Selain memberi kesempatan baru bagi publik dalam mereposisi hubungannya vis a vis negara, voluntarisme juga menjadi alarm politik bagi pragmatisme itu sendiri. Meski ada saja buzzer dan para sukarelawan yang akhirnya dengan ngelunjak meminta jatah kekuasaan ini itu, tapi pada ghalibnya ia tetap dibutuhkan: minimal sebagai penyedia panggung perdebatan. Indonesia, pembaca tahu, adalah negeri yang telah lama absen dalam perdebatan.
Kini muncul kelompok yang luar biasa kritis dan militan, yang tanpa lelah siap mencereweti siapapun yang dianggap menyimpang.