
Pembaca yang budiman, atas nama redaksi, saya memohonkan maaf pada Charles Darwin atas kekurangajaran judul ini. Dari kuburnya, semoga Darwin tak melongok sambil menghardik: “sejak kapan cicak bisa mbrojol emprit?” Atau yang lebih radikal: “emprit itu apa?”
Kegawatan pertanyaan Darwin itu, toh, pada hemat penulis masih jauh di belakang ancaman yang amat nyata, bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi sekali lagi hendak dipreteli. Komisi, yang pernah disebut sebagai “cicak” oleh “buaya” Komjen Susno Duadji, dikepung oleh parlemen dalam drama hak angket yang melelahkan. Dari dalam, komisi anti rasuah ini juga menghadapi serangan dari Direktur Penyidikannya sendiri, Brigjen Aris Budiman. Beberapa menyebut ini sebagai pembangkangan.
Tak berhenti di sana, Mahfud MD—mantan hakim konstitusi yang terpandang dan disegani itu—menulis dengan basis “pengalaman pribadi seorang kawan”, yang isinya adalah keluhan bahwa KPK sudah disusupi kepentingan buruk. KPK tebang pilih, tendensius, dan korup. Ini kata “kawan” beliau. Siapa dia tidaklah penting dan bukan soal republik ini untuk menjawabnya.
Lengkaplah sudah. Serangan mematikan yang beruntun dilancarkan ini hanya menggeser status cicak KPK menjadi emprit, sebelas dua belas, tak beringsut ke mana-mana. Bagi pembaca yang dulu pernah ngidam KPK akan sekuat superhero, silakan patah hati.
Tapi mungkin kita bisa mulai bertanya usil, jika ia dibubarkan, apa dan/atau siapa yang bisa mengganti kinerja KPK? Atau apakah sebetulnya KPK hanya dikebiri saja, sambil terus dibiarkan hidup? Bukankah yang begini ini dalam kosakata laki-laki adalah sama dengan Madesu, masa depan suram?!
Kita musti bersiap untuk mengantisipasi para emprit bermasa depan kelam tanpa daya hidup macam zombie.
Pembaca, bagi anda yang putus asa barangkali percaya bahwa ini semacam suratan takdir. Bahwa semua protagonis akan tiba masanya untuk dihajar. Pembaca bolehlah dongkol, apalagi mengumpat, terutama tatkala tak ada satu pun kepastian yang bisa di pegang tentang akhir cerita KPK. Bahkan, kadang mulai terlintas bayangan bagaimana komisi rasuah akhirnya menyerah melambaikan tangan pada kamera. Sebab Demit parlemen jauh lebih kejam dan beringas dari Dalbo.
Satu-satunya harapan adalah bahwa kita masih bisa mengimani plot Hollywood kebanyakan: di akhir film, protagonis menang, happy ending!
Amin
Rendy Pahrun Wadipalapa