Kapan kita boleh bermimpi tentang pasukan nasbung dan nastak bersatu, hidup damai, dan saling mencintai?
Dunia politik kita yang sudah pengap, bertambah ciut setelah pasukan-pasukan ini memproklamirkan perang. Medannya? Pembaca tentu sudah tau di mana bisa menemukan mereka.
Pasca pembelajaran yang amat penting pada bejibun kasus rasisme di pilkada DKI Jakarta lampau, kita tahu bahwa ada kelompok-kelompok yang menghidupi intoleransi macam ini. Nasbung nastak berkelahi tanpa henti, bahkan acap turut serta dalam keruwetan politik rasial. Karena kelewat dramatis, kosakata baru macam “Jonruisasi” pun kini hadir mengisi perbincangan di forum-forum maya.
Pembaca, anda boleh berkelit bahwa elite kita sudah cukup sensitif dan politik kita telah sepenuh-penuhnya santun, tapi pembaca juga musti waspada jika pendapat macam ini bisa terpelanting pada kepolosan berpikir.
Komentar rasisme yang terlontar dari tokoh-tokoh publik harus segera dibaca bukan semata-mata perkara silap lidah (lapsus linguae), melainkan datang dari kemungkinan rendahnya pengalaman multikultural dan kesesatan persepsional. Sulitnya, mengapa netijen macam nastak dan nasbung juga ikut-ikutan kepeleset lidah di isu rasial macam ini? Arie Kriting beruntung bisa tetap melucu dengan materi kulit gelap dan isu kesukuan. Lantas, apa nasbung-nastak harus ikut kursus untuk mendewasakan pemikiran rasial pada Arie si Kriting itu?
Penjelasan paling mudah mengapa semua terjadi adalah lantaran rasisme telah menjadi teknologi provokasi politik yang paling tua sekaligus universal. Keterampilan mengendalikan politik rasial dilatih pula oleh jam terbang. Bagaimana potret sejarah kita dalam mengendalikan ini?
Dipelihara
Pembaca pastilah tahu jika terminologi nastak-nasbung diciptakan dengan nuansa antagonistik, meski terdengar seperti lelucon. Mereka “tercipta” pada sekitaran 2014, waktu dimana pemilihan presiden dihelat. Fanatisme dimunculkan dan publik sengaja dibelah (atau membelah?) ke dalam dua kategori fans kandidat, Joko Widodo atau Prabowo Subianto. Kampanye massif yang dilakukan para pendukung Prabowo—dengan konsumsi utama nasi bungkus—akhirnya memunculkan istilah “panasbung”, pasukan nasi bungkus. Tak lama setelahnya, serangan balik pada fans Jokowi dilancarkan oleh Fadli Zon—timses Prabowo, mirip bintang iklan Daia—yang mendeklarasikan istilah “panastak”, pasukan nasi kotak.
Ada sekurang-kurangnya tiga hal mengapa politik ras terus-menerus dipelihara dengan sengaja. Pertama, mayoritas kelas berkuasa masih ragu-ragu dalam memutuskan sikapnya terhadap rasisme. Sebagai metode provokasi yang murah, rasisme diberi tempat guna memberikan efek yang luas dan mendalam untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Bagi masyarakat dengan tipikal sentimentil, informasi apapun yang dibingkai (framed) dalam nuansa rasis bukan hanya akan mudah diserap oleh pikiran penerima, melainkan juga mudah untuk ditransmisikan ke kelompoknya. Lalu lintas informasi semacam ini begitu mudah ditemui dalam medan kontestasi politik yang melibatkan masyarakat trans-kultural.
Kedua, bertolak dari pengalaman kolonialisme di masa lampau, dunia politik pribumi—jika istilah ini masih diijinkan untuk digunakan—selalu ditempatkan paling bawah dalam hirarki kekuasaan. Orang-orang ndeso macam kita ini selalu diletakkan dalam posisi paling mencelat dari struktur keseluruhan. Kita melihat bahwa situasi ini terus-menerus mengendap dalam ingatan dan diwariskan turun-temurun—termasuk diwariskan disana ingatan-ingatan negatif yang menyulitkan generasi selanjutnya dalam memaafkan dan memetik hikmah sejarah. Ironisnya, diakui atau tidak rasisme jugalah yang diandalkan dalam memberikan penjelasan yang “membakar” perasaan nasionalisme tatkala harus berhadapan dengan penjajah. Kenangan buruk atas ras-ras tertentu itu mengental hingga hari ini.
Ketiga, rasisme juga bertumbuh-kembang dari kesenjangan jarak sosial yang riskan berbelok pada kecemburuan. Konon, orang-orang yang sudah kepepet hidupnya menjadi sasaran empuk kampanye rasial. Sentimen kecemburuan terhadap etnis lain yang “dituduh” kaya semakin menjatuhkan harga diri. Reaksinya mudah ditebak: orang akan emosi dan elite politik kita suka bermain-main dengan emosi. Pada sisi yang lain, celakanya, akar perkara ini tidak pernah mampu diatasi dengan memuaskan sehingga terus melebarnya kesenjangan berarti juga menajamnya kecemburuan. Rasisme pada gilirannya hanya menjadi pelarian ekspresif bagi kelompok lemah yang tidak mampu menjelaskan ketertindasan posisinya dibandingkan kelompok lain. Tradisi toleran pada segala macam kebiasaan, budaya, dan agama, mudah tumbang oleh rasa frustasi.
Keterhimpitan secara sosial dan ekonomi yang tidak ingin diakui, kemudian mendapatkan jawabannya yang paling ringkas melalui pengambinghitaman orang lain untuk melepaskan stres. Sindrom rendah diri ditukar dengan menyalahkan kelompok pesaing. Negara pun telah turut andil dalam menciptakan kelompok-kelompok yang merasa dilupakan dan kebingungan mencari akar persoalannya sehingga lari pada rasisme. Oleh sebab itu, perjuangan yang efektif melawan rasisme harus disertai dengan perjuangan melawan krisis sosio-ekonomi.
Kabar buruknya, negara terlalu lamban dan tidak memiliki prosedur standar dalam membereskan aksi politik rasisme. Pembaca bisa bayangkan, kita kini hidup dalam situasi dimana forum online, media sosial, grup whatssapp atau line, diisi oleh perdebatan, kadang tolol, tentang siapa yang seharusnya jadi presiden. Ruang publik ditebang demi saling tuding antara seteru abadi nastak-nasbung.
Sementara itu, kabar baiknya kedewasaan mulai tampak kendati samar-samar. Kesadaran multikultural kelas menengah punya andil cukup besar dalam mengatasi kelihaian pawai-pawai rasis. Masih untung ada orang-orang yang sayang waktu dan tak meladeni perdebatan rasial, tetapi memilih untuk menulis secara jernih. Tempo hari ada yang menyorongkan ide tentang calon pemimpin pribumi. Ide keblinger ini direspons oleh puja-puji, dan beberapa cacian. Tapi tak ada respons yang memuaskan sebelum muncul tulisan antropologis tentang “nenek moyang” di Jawa, yang ternyata secara fisik jauh dari bayangan kita semua yang mengklaim sebagai paling pribumi ketimbang yang lain. Keberuntungan kita ada pada orang-orang semacam ini, yang masih waras. Di mana peran kampus? Kok diem?
Meski kelas menengah (yang amat cerewet itu!) masih memegang dominasi atas tumbuhnya kesadaran ini, tetapi upaya keras untuk memberi jarak reflektif atas kebiasaan-kebiasaan buruk yang terwariskan turun-temurun tentu harus diberi pujian.
Kita menanti, sebentar lagi pemilihan presiden 2019 tiba. Apakah dilema nasbung-nastak mulai sembuh dan move on, atau makin parah karena sindrom pilpres dan bayaran sebagai buzzer?
Rendy Pahrun Wadipalapa