Beredarnya wacana untuk merealisasikan penayangan ulang atas film Pengkhianatan G30S PKI bikin bulu kuduk siapapun bangkit merinding. Bayangkan saja, betapa kita harus menonton adegan kekerasan dalam tayangan televisi di era milenial ini—ketika para stasiun televisi juga bermain aman dengan melakukan sensor yang tak perlu-perlu amat. Menonton Doraemon atau Naruto tak lagi sekhidmat dulu, saat rok Shizuka dan darah yang mengucur di jidat Sasuke tidak terdapat gaussian blur.
Nanti, saat ide aneh itu benar-benar terwujud, saya akan mulai membawa buku tangan ketika film tersebut diputar, sambil menghitung berapa kali tambalan blur nampak di layar kaca. Atau mungkin tidak ada sama sekali? Apresiasi tinggi akan saya berikan jika itu terjadi, atas dibukanya kembali tayangan yang sehat dan demokratis (pembaca, pada bagian ini penulis mencoba moralis. Mosok nyinyir terus).
Ada yang merekomendasikan agar film Jagal (2012) dan Senyap (2014) juga turut diputar setelahnya. Karya sineas Amerika, Joshua Oppenheimer itu adalah suatu contoh anti-tesis terhadap dominasi wacana mengenai komunisme. Keduanya sama-sama menelanjangi sejarah dengan merekam pengakuan baik dari pelaku pembantaian massal peristiwa 65 maupun dari keluarga korban. Bagi yang pernah menonton, proses reka ulang yang dilakukan Anwar Congo dkk dalam membabat orang-orang terduga komunis tidak kurang mengerikannya dengan adegan rekaan di Pengkhianatan G30S PKI.
Terlepas dari konteks jadi diputar atau tidaknya film-film di atas—yang juga sama kontroversialnya terkait usaha rekonsiliasi yang ditawarkan—ada satu film pendek dengan bentuk cukup baru dalam menggambarkan gema sejarah terkait komunisme. Adalah On The Origin of Fear (2016), dengan pengambilan cerita seorang dubber dalam film Pengkhianatan G30S PKI. Ia mengalami berbagai tekanan emosional saat take di balik studio, harus mengulang reka adegan hanya melalui peniruan suara-suara pelaku dan korban pembantaian massal.
Film dengan durasi 12 menit ini efektif dari segi penuturan yang tak muluk-muluk a la sinema India atau Turki yang berkecamuk dalam siaran televisi kita. Berbekal pendalaman sisi personal seorang dubber untuk menirukan berbagai suara jeritan, amukan, hingga umpatan dalam film G30S; yang semuanya cukup bagi kita untuk merasakan dilema yang ia alami. Sekaligus, nampaknya penonton akan segera dibikin paham bahwa ada suatu patologi kemanusiaan dalam nuansa produksi film itu.
Kemunculan dialog pun hanya berasal dari naskah yang dibawa dubber, tanpa terdengar percakapan berarti antara ia dan sutradara yang mengamati dari balik kaca ruangan. Instruksi yang diberi seperti sudah jelas dan mau tak mau harus dituruti. Bahkan beberapa kali sutradara terlihat marah karena dubber tidak mendapat emosi yang sesuai. Dari titik inilah, sebuah teks paradoksial dimunculkan: bahwa butuh upaya untuk menekan ketakutan dalam usaha menakut-nakuti. Pinggirkan tuntutan moral tentang kebohongan. Pikirkan, dalam dirimu telah diemban suatu wasiat untuk berperang pada kejahatan hantu-hantu komunis.
Seolah Bayu Prihantoro, sang sutradara, paham ketakutan tidak berasal dari kata-kata yang intimidatif, melainkan hasil peleburan atas gambaran tak manusiawi ke dalam suatu subjek tertentu. Atau, mudahnya, dengan mengoposisikan subjek dengan sifat dominan dalam diri kita. Hingga, penonton tak perlu repot-repot untuk membaca ulang sejarah yang berlembar-lembar itu. Cukup menyiapkan sekotak biskuit dan teh, lalu menunggu jam tayang G30S di layar kaca—setiap tahunnya.
On The Origin of Fear telah menyambangi beragam festival mancanegara, mulai Venice Film Festival hingga Toronto International Film Festival. Film ini adalah satu dari sekian film pendek yang diproduksi untuk merayakan seremoni lima puluh tahun Tragedi ‘65. Di antaranya Pulau Buru Tanah Air Beta, Izinkan Aku Menikahinya, Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal!, Luka di Tanah Merah, dan seterusnya. Daftarnya masih akan panjang, selama sejarah masih terus disimpan di ketiak zaman pemerintahan yang kian amis dan bau, serupa getah darah yang pernah tumpah di negeri ini bertahun-tahun lampau.