
Setelah dihajar oleh bejibun kenyinyiran netijen tentang janji-janji kampanye, akhirnya Om Anies menggebrak juga dengan satu kabar: ijin hotel surga dunia Alexis tak diperpanjang!
Pemprov DKI Jakarta kemarin resmi mengumumkan penolakan atas daftar ulang Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) yang diajukan Hotel Alexis dan Griya Pijat Alexis. Dengan gagah berani, Om Anies berkoar, jika masih ada aktifitas di hotel tak berijin, maka semuanya itu adalah ilegal. Galak dan tegas sekali bukan?
Barang apa sebetulnya TDUP itu?
TDUP adalah kewajiban untuk diurus oleh tiap usaha kepariwisataan. Dasar hukumnya, Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang menegaskan bahwa untuk dapat menyelenggarakan usaha pariwisata, pengusaha pariwisata wajib mendaftarkan usahanya kepada pemerintah atau pemerintah daerah. Pertanyaan mengemuka di sini, mana diantara unit usaha Alexis (bar, restoran, jasa akomodasi hotel, karaoke, spa dan Griya Pijat) yang ditolak ijinnya? Seluruhnya, atau parsial? Apakah jasa akomodasi hotel, bar dan restoran juga ditolak sekalian atau hanya Griya Pijat Alexis? Kita masih menunggu kabar baru di antara belantara kabar yang kini beredar di media.
Ini menjadi penting, pembaca budiman, sebab jika Griya Pijat Alexis saja yang ditutup, maka aktifitas pelacuran mudah saja dipindah ke fasilitas hotel lainnya. Asyik saja orang bercengkerama di sana, andai Griya Pijat dilarang buka.
Lagipula, apa dasarnya Pemprov menolak ijin itu? Sudahkah dilakukan pemeriksaan atau investigasi yang membuktikan terselenggaranya prostitusi di sana? Kalau sudah, dapatkah hasilnya dibagi kepada publik—minimal pada kalikata.id biar kita-kita punya dokumen yang sedap dipandang (uhuk). Penolakan itu harus punya dasar yang kuat dan konkret, berlandaskan kaidah ilmiah verifikasi dan pembuktian bahwa pemohon telah melanggar dan tak layak diperpanjang ijinnya.
Pertanyaan lain: apakah jika sudah dibuktikan menjalankan praktek pelacuran, manajemen Alexis dituntut pidana sekalian? Apakah penolakan ijin ini akan dilanjutkan dengan pemidanaan atas dasar praktek prostitusi?
Masih panjang yang musti dijawab, ternyata. Maka musti ada kejelasan pada aspek ini agar tak sami mawon kebijakannya dengan yang lalu-lalu. Kini masih terlalu dini untuk melempar puja-puji. Om Anies moga-moga tahu itu dan kita sebaiknya bersabar.
Deposito Politik
Ini bukan semata soal nyali. Pembaca masih ingat, bahwa selama kampanye, salah satu isu yang intens digarap Om Anies adalah ketidakberanian Ahok menutup Alexis? Ahok dianggap pemimpin cemen karena tak berani menutup praktek prostitusi Alexis.
Jadi, penutupan hotel berkawasan Jakarta Utara ini bukanlah semata-mata demi memperlihatkan kinclongnya hati islami Om Anies, melainkan juga dalam rangka hajatan melunasi janji kampanyenya sendiri. Bagian ini penting sekali demi menabung modal politik. Pembaca tahu bahwa basis pemilih Om Anies harus dirawat dan dijaga, terutama bila ia serius menata diri maju pada 2019 nanti.
Maka, ini seolah-olah menjadi berkah bagi mereka yang selama kampanye mendukung om Anies dengan membawa panji-panji moral. Dahaga umat atas janji surga gubernurnya minimal sudah dipenuhi. Om Anies tak bodoh dan tentu akan memanfaatkan situasi ini sambil membangun kredibilitas yang memenuhi harapan umat.
Tapi, lima tahun lalu, Pandji Pragiwaksono (di kemudian hari nanti akan menjadi salah satu tim sukses Anies-Sandi), bercerita dalam blog pribadi ihwal kunjungannya ke markas FPI. Salah satu percakapan yang epic adalah tatkala ia bertanya kepada Habib Selon FPI, “Kenapa Alexis nggak pernah diserbu, Bib?”
Kata Habib Selon, “Alexis itu Hotel. Kami tidak pernah menggerebek hotel karena di hotel Alexis ada keluarga yg menginap bersama anak anak.”
Lucu bukan?
Padahal FPI adalah mesin politik umat pendukung Om Anies, yang berhasil menggalang 7 juta demonstran (kita anggap saja angkanya memang segitu ya, plis) anti-Ahok. Inkonsistensi sikap FPI dan Om Anies ini memperlihatkan bahwa Anies bermaksud untuk menggalang dukungan yang jauh lebih besar lagi—bukan semata-mata mengikuti garis sikap FPI yang lucu unyu-unyu itu. Ambisi ini hanya mungkin dipahami untuk sebuah deposito politik yang akan ditarik tunai pada tahun 2019 nanti.
Jadi bersikap biasa sajalah. Lha politik memang mencla-mencle kok. Ojo nggumun.