
Ketika Saya Tidur
Saya pernah bercita-cita ingin tidur sepanjang tahun, sibuk membangun kota sendiri di alam mimpi, dengan gunung es-nya Freud menggantung jadi menara di pusat peta. Sambil membayangkan rencana APBD lima tahun ke depan, saya memilih sebat rokok bersepeda mengelilingi menara itu layaknya ritual tawaf, melakukan sapaan ringan pada warga yang sibuk berdagang pentol, sempol, dan cimol. Kalo sampe ada yang invest modal ke bakul-bakul itu, dengan indikasi mengarah ke kapitalisasi, saya bakal tolak mentah-mentah: Go to hell with your aid!
Dalam suasana (sok-sokan) psikoanalis semacam itu, saya mudah saja mikir yang aneh-aneh. Sebab, saya perlu sejenak menghindari tugas-tugas kampus yang suka caper, bahkan bisa bikin mata sipit. Alih-alih keren, teman-teman akan membully saya habis-habisan dengan sebutan chibumi (chinese x pribumi).
Jadwal tidur dan bangun akan saya tentukan kira-kira seperti ini. Mulai tidur di pertengahan Desember, ketika musim kawin sudah surut dan mangga mulai ranum. Di bulan-bulan ini, saljuhujan akan sering datang sehingga saya tak perlu kuatir banjir dan kehujanan. Alarm akan saya pasang di bulan April, saat musim panas lagi seksi-seksinya.
Berhubung musim panas di negara ini kok ndak seru-seru amat, malah cenderung sumpek, akhirnya saya putuskan alarm sesuai dengan tembang milik Green Day saja: Wake Me Up When September Ends.Sepertinya cocok juga dengan lagu hitsnya Vina Panduwinata, September Ceria. Pun, senada harapan saya untuk bisa tidur sepanjang tahun—supaya kota di alam barzah mimpi saya bisa maju seperti Meikarta.
Sekarang Sudah Oktober
Malam hari tanggal 30 September, pukul sebelas lebih sepuluh, rumah saya digedor seakan-akan saya melewatkan jadwal ronda. Ketika mama membuka pintu dan menyambut dengan muka bantal, para tamu tak sopan itu lantas masuk dengan sepatu berdecit, di atas ubin yang masih separuh jadi. Mereka langsung saja menerkam gagang pintu kamar, sontak, membukanya dengan separuh curiga. Spontan saja, karena saya kaget, satu kalimat meluncur tanpa terpikir:saya bukan Nasution, Jenderal!
Rupanya, adegan di atas tidak jadi saya masukkan wishlist alarm bangun, karena takut menyamai salah satu scene film terkenal. Akhirnya saya bangun biasa-biasa saja, dengan matahari yang mengintip tepat di balik tirai kamar, dan suara muazin bertaut di surau samping rumah. Kalender juga nampak hanya kelewat satu malam, serta kota yang saya impikan itu mungkin sudah dibeli para saudagar negeri bambu.
Saya tertidur pulas ketika: semalaman film Pengkhianatan G30S PKI diputar di salah stasiun televisi swasta serta komando untuk memutarnya serentak di berbagai kampung pada hari itu juga, satu hari setelah demonstrasi besar-besaran 299 menuntut dicabutnya Perppu Ormas, dan saat itu juga Setya Novanto, untuk kesekian kalinya lolos dari jeratan hukum.
Mama yang lebih dulu bangun di sepertiga malam hampir saya salah-salahkan hanya karena saya kelewatan menyaksikan tiga momen sejarah itu. Meski terdengar lebay, namun toh tetap saja saya ini jasmerah, tetap harus merawat ingatan bangsa! Lagian, dengan fenomena macam itu, tidak mungkin saya ingin melewati hari-hari dengan tidur pagi lagi, atau saya akan dicap sebagai pemuda yang kudet, cuih.
Padahal saya sangat mengimpi-impikan menonton film garapan Arifin C. Noer itu bersama keluarga, di rumah melalui pesawat televisi, bukannya laptop dengan layar separuh nyala saya ini. Pernah sih, saya mengunduh film itu, namun resolusinya minim sekali dan tidak bisa di-skip—kalau ada adegan seksualnya bagaimana, kan urusan sensor masih belum sampai ke file online. Dengan nobar, apalagi ditemani ngobrol santai di ruang tengah, belajar sejarah tak perlulah sampai harus ngotot berdebat. Toh, energi sudah banyak terkuras di ruang-ruang kuliah.
Apalagi massa demonstrasi dengan energi yang tak habis-habisnya itu,dari 411, 212, 313, 14045, 147, hingga 299, woah, mana ada mahasiswa yang tahan aksi rutin seperti itu. Paling-paling, cuma di bulan-bulan tertentu saja, ealah, dengan massa terbatas pula. Justru, bejubel anggota ormas dari beragam daerah di tanah air itu patut mendapat apresiasi selayaknya agent of change-nya mahasiswa. Kalau persepsi masyarakat se-nusantara saja dapat diubah terkait seorang pemimpin, bagaimana tidak, suatu saat mereka bisa memimpin dan mengubah negeri ini? InsyaAllah. Itupun kalau Bang Setnov sudah tak berhasrat njabat lagi.
Omong-omong soal satu tokoh paling ‘diobrolkeun’ se-jagad maya itu, rasanya kok kita harus mulai berterima kasih sama beliau. Ayo, coba saja, kalau tak ada beliau, mungkin sampai 2017 ini dompet kita masih diisi sama KTP konvensional yang nggak keren itu. Plastik laminating-nya itu lho, duh, kayak id card acara kampus aja. Kalau e-KTP kan sudah ada chip, mirip sama sim card di hape. Biar saat bule nanya, hey, what’s that? Kita bisa pamer dengan jawab, hello sir, this is our identity card, thank you!
Papa yang satu itu, ndak usah lah disuruh-suruh ke pengadilan. Toh ujungnya beliau jatuh sakit kan, kasian. Jangan sampai nanti beliau makin ngambek, langsung daftar travel, berangkat umrah lah dia—menyusul kasus yang sudah-sudah. Lagian, sudah tau JokowiSetnov kebal hukum, masih saja orang-orang ngeyel menangkap dia. Lihat sendiri, kan, rakyat jadi ngedumel lagi.
Jam Tidur
Rasanya memang saya harus segera mewujudkan rencana tidur itu. Kali ini, alasannya tidak lagi jam merem yang berkurang karena tugas kampus atau habisnya musim mangga. Lagipula, saya jadi berharap menjumpai fenomena di atas dalam mimpi saya, yang barangkali seru sebab di sana boleh jadi tak ada agama, politik, bahkan negara. Saya cuma ingin memastikan, bakul pentol, sempol, dan cimol masih berjualan di sekitar tugu es, tanpa takut kena pajak.
Tolong bangunkan saya.