
Masih tentang ribut-ribut Papa Setnov tempo hari. Kali ini Firmansyah NU, perawi sejarah dari kampus beken Surabaya, menyumbang gagasannya tentang kisruh politik itu. Silakan disimak.
…yang tersisa dari gaduh-riuh Setya Novanto apa?
Kita bisa mulai dari penjelasan tentang kemenangan teknologi komunikasi dan informasi, yang berhasil mengubah secara radikal pola hidup orang yang mulanya berdikari menjadi serba-tergantung pegangan hidup.
Gawai berhasil meraih peringkat pertama sebagai benda yang pertama kali di pegang setelah bangun tidur. Alih-alih berdo’a; untuk urusan mandi, menolong ibu membersihkan tempat tidur (bacanya jangan sambil nyanyi) saja seringkali tidak terealisir. Ia berhasil membalik keadaan menjadi barang dengan prioritas tertinggi manusia setelah sejenak jiwa melepaskan diri dari raganya. Entah, fenomena tersebut kita maknai sebagai berkah atau kutuk.
Bangun tidur saya pun sama seperti bangunnya putra-putri ibu pertiwi: mencabut gawai dari kuasa charger, lalu men-scrolldown notifikasi sambil menyapu habis berita di timeline.
Pembaca tentu ingat bagaimana nabi partai politik Indonesia, Setya Novanto dihadirkan secara virtual lewat deretan quote-quote penghias meme. Posisi ketua dewan yang terhormat seketika itu runtuh di hadapan warganet dengan segala justifikasi. Pembaca bisa menengok karya anak negeri tersebut dalam jejaring sosial apapun bertagar #thepowerofsetnov
Pembuat meme mungkin sedang mengamalkan petuah dari Rene Descartes, “Yen kowe gawe uthekmu, followermu nambah”. Kesimpulan pengamatan saya terhadap kumpulan meme tersebut adalah sebagai respon ekpresif rakyat Indonesia setelah meledaknya era Orde Baru.
Tanggapan kreatif rakyat indonesia yang nongol di setiap timeline linimasa kita adalah reaksi deretan daftar perilaku sang Papa dalam menjalani kehidupannya yang fana ini. Dari beberapa meme yang saya amati, gambar tersebut sengaja menunjukkan kalau Papa memiliki kesaktian luar biasa. Konsekuensi logis dari adanya meme tersebut memberi pemahaman akan macetnya saluran kritik yang komprehensif, sehingga lebih bermakna sebagai keputusasaan yang sering tidak didengar. Kita selesai dalam melihat realitas tersebut dengan asumsi: Papa salah dan harus segera diadili, Papa melipir dari panggilan KPK, Papa sakti dan tidak bisa diancam, KPK adalah korban kesaktian Papa.
Sudah, tidak ada alternatif lain dari permasalahan diatas. Jadi, secepat itukah kita puas?
Terlepas apakah Papa benar-benar kelelahan mengurusi rakyat sampai-sampai jatuh sakit dan tak berdaya melawan komplikasi penyakit yang diderita, bahkan mendadak sembuh setelah putusan peradilan dibacakan, ia adalah poli_tikus handal. Keberhasilannya beberapa kali lolos dari ancaman bui menunjukkan kelihaiannya dalam bermain politik. Kalau kita kembalikan konsep dasar politik kepada bahasa terbaik menurut Al-Qur’an, politik berarti As-siyaasat. Dengan demikian Papa berhasil menang siasat, menang siasat tidak bisa menjadi indikator kesaktian seseorang. KPK kalah cerdas. KPK harus segera bermuhasabah demi tujuan mulianya, yakni mencabut korupsi sampai ke akar.
Budaya meme, senyatanya tidak membuat kita semakin jelas dalam melihat suatu fenomena. Saya lebih setuju jika keberadaan meme hanya untuk menvulgarkan fenomena, tidak lebih. Selain itu, meme juga bisa menumpulkan pisau analisis kita terhadap suatu realitas. Kita terlalu cepat menyimpulkan suatu hal karena meme.
Saya sepakat dengan Slavoj Zizek yang dengan sembrono ingin membalik tesis kesebelas Marx. Jika Marx berpendapat bahwa: “Filsuf sekarang hanya bisa menafsirkan dunia dan tidak pernah mengubahnya”. Maka Zizek mengusulkan: “Di abad ke-20 ini, kita mencoba mengubah dunia terlalu cepat. Waktunya menafsirkannya lagi dan mulai berfikir”.
Mikir. Mikir.
Yaa..Zizek mirip-mirip sama Cak Lontong laah.