
Dhani masuk partai? Mau nyalon pilkada? Sudah rumangsa pantes?
Tolong tunda dulu kenyinyiran ala lambe turah macam itu. Analisis model infotainmen yang mengandalkan sentimen benci-cinta sebaiknya minggir dulu (uhuk). Lha, menurut ilmu politik modern, kan harus diketahui dan diverifikasi dulu mutu yang bersangkutan.
Ia konon melepas karirnya sebagai musisi dan banting stir masuk ke kandang macan Gerindra, partai yang diketuai oleh mantan calon presiden Prabowo Subianto. Sebelum lompat ke Gerindra, Dhani merintis karir politiknya dengan gagah berani: menjadi salah satu orator aksi 212, memasang sikap oposisi yang amat keras terhadap Jokowi, dan masuk sebagai salah satu pembela terpenting Anies-Sandi dalam kampanye pilgub Jakarta. Dengan kepala licin dan suara yang familiar, Ia berorasi lewat kalimat-kalimat tajam dengan meminjam tanpa permisi nama-nama di kebun binatang. Beberapa kali ia diperiksa polisi karena tudingan penghasutan, pencemaran nama baik, dan makar. Katanya ringan saja, “saya memang muak dengan para pembela penista agama”. Cukup berani bukan? Tidakkah keberanian dan keterus-terangan ini musti dihargai sebagai salah satu modal politik? Soal mutu beliau, nanti sajalah dibahas.
Kata orang, musik dan politik adalah dua wilayah yang dekat. Kalau Presiden SBY berhasrat menjadi musisi lewat petikan gitar dan lagu-lagunya (tak terlalu terkenal, tapi okelah), maka Dhani adalah pakarnya musik. Dhani Ahmad Prasetyo, pentolan band legendaris Dewa 19, tak diragukan lagi, adalah salah satu musisi dengan pengaruh paling luas. Pembaca pernah remuk redam hatinya tatkala mendengar lagu “Kangen”? Atau mengalami perasaan penuh kembang sewaktu menikmati tembang “Kamulah Satu-satunya”? Atau merasa semriwing magis dengan kenangan lagu “Persembahan dari Surga”? Kalau iya, maka satu lagi variabel modal politik sudah dipunyai: kesan dan namanya tersimpan dengan baik dalam ingatan kita. Soal mutu beliau, nanti sajalah dibahas.
Selain itu, pernahkah pembaca hitung jumlah Baladewa, fans berat grup Dewa? Dibentuk tahun 1986 di Surabaya, Dhani telah tiga dekade menghidupi Dewa 19. Beberapa kali pula ganti personel. Tapi toh Dhani sebagai frontman membuktikan bahwa ia mampu menjaga kapal tetap utuh. Ini pula yang membuat fans tetap bertahan, selain terus mendamba lagu-lagu bikinan Dhani (yang banyak menggunakan chord miring dan enak di telinga itu), juga menyaksikan kedigdayaan Dhani dalam menjaga Dewa. Jumlah fans itu, konon mencapai ratusan ribu (masih agak jauh dari angka 7 juta umat, tapi tak apalah). Nah, pembaca tahu juga kan akhirnya jika keputusan Dhani masuk politik tepat? Sebab, ia tahu ia punya basis massa. Meski belum ada riset berapa fans Dewa yang murtad dari Dewa lantaran kecewa dengan Dhani, tapi kita semestinya chusnudzon saja.
Kelahiran Dhani dan kedekatan kultural dengan Jawa Timur, makin melengkapi kapital politik yang ia perlukan. Walaupun saat ini muncul tren bahwa calon kepala daerah tak perlu berasal asli dari daerah pemilihan, tapi Dhani toh memegang teguh prinsip ini: mengabdi pada wilayah tempat dia dilahirkan. Mulia bukan?
Jadi apa alasan untuk menolak mas Dhani? Riwayat sekolah?
Jangan salah, beliau masuk SMP beken paling kondang di Surabaya, SMPN 6 yang menjadi barometer kecerdasan dan kegaulan, dan tembus ke SMA komplek SMAN 2, yang sampai kini didaku sebagai pusatnya cowo-cewe ganteng-cantik. Kurang apa? Sarjana tak pentinglah di bahas di sini, lha wong SMP SMA mas Dhani sudah mantap jiwa begitu.
Selebritas Dhani pula yang akan diharapkan mampu merebut simpati anak muda milenials, anak-anak kecebong yang masih doyan mendengar Dewa dan mbak Mulan Jameela. Jumlah anak-anak ini tentu banyak. Belum lagi ibu-ibu yang benci Maia Estianty, mantan istri Dhani, dan lebih simpati pada keluguan mbak Mulan. Jika digabung, maka potensi ceruk massa Dhani amatlah besar.
Jadi, terang-benderang bahwa Dhani adalah kandidat yang potensial. Jangan buta politik begitu.
Soal mutu? Nanti sajalah dibahas.