Pertanyaan dalam judul ini ditujukan kepada dua tipikal pembaca: yang punya hobi mengutuk dan yang bergenit-genit dengan kekiri-kirian. Dalam semua momen, perut kita tak pernah kenyang mengunyah apapun yang berbau komunis, dengan sumpah serapah atau puja-puji.
Seperti pembaca tahu, baru-baru ini dibongkar informasi dari kabel diplomatik AS ihwal peristiwa pembantaian 65. Ada 39 dokumen dengan tebal 30.000 halaman, yang ditulis dalam rentang tahun 1964 hingga 1968. Isinya: ketegangan internal militer angkatan darat telah mendorong gagasan untuk menggulingkan Soekarno selekas-lekasnya. Dalam tubuh PKI juga terjadi kekalutan yang membingungkan atas apa yang terjadi pada 30 September itu.
Berita ini, segera ditenggak sebagai suplemen menyehatkan yang mengimbangi narasi Negara tentang peristiwa 1965, bahwa PKI adalah biang kerok satu-satunya. Banyak sesungguhnya buku dan versi lain yang membantah ini, tapi tak pernah dijadikan bahan pertimbangan untuk mengubah cerita sejarah yang telanjur dimaktub dalam buku-buku di bangku sekolah.
Kita bukan saja generasi yang dibikin mabuk oleh Via Vallen dengan jaran goyang-nya, tetapi juga mendem komunisme. Tiap pemilu—nasional maupun lokal—komunisme jadi primadona, diolah menjadi trauma dan dikirim ulang untuk menakut-nakuti orang. Kenangan buruk dibangkitkan dan generasi jaman now dipaksa menenggak bulat-bulat.
Masih ingat Jokowi dituduh komunis? Atau Ahok yang karena ke-Tionghoa-annya lantas disembur dengan tudingan komunis? Atau Soekarwo Gubernur Jatim yang dulu juga bernasib sama?
Semua hasutan itu dilancarkan dalam momen-momen politik untuk menghajar lawan.
Syukurlah, pada saat yang sama masih ada yang tekun dan berhati-hati melihat situasi.
Debat dan tudingan yang mencekik itu coba dicairkan dengan satire politik yang sangat komikal sekaligus jenaka. Contohnya, adegan-adegan dalam film Pengkhianatan G30SPKI dipotong dan dialognya dimodifikasi, lalu disebarkan di forum dunia maya maupun media sosial.
Film horor politik itu bahkan di-dubbing ulang, dengan suara setengah mendesah yang kurang ajar, dan mendistorsi pesan propaganda yang hadir dalam film itu. Pelakunya anak-anak muda generasi milenial, yang memanfaatkan imajinasi kreatif untuk membunuh prasangka yang diawetkan bertahun-tahun. Selain suka Via Vallen, syukurlah mereka pandai juga mengedit film.
Meski mudah dilihat sebagai tindakan sementara dan jenaka, kreatifitas itu sesungguhnya pantulan dari kemuakan atas pengapnya perdebatan politik. Sikap ini membuktikan bahwa agen-agen bahan bakar komunis tak bisa dibiarkan melenggang. Imajinasi tak akan pernah bisa ditebang. Dan kegenitan generasi ini dalam bermain-main dengan narasi komunisme tidak boleh dianggap sebagai kekurangajaran, melainkan sebagai antitesis baru yang menyalakan api diskusi.
Bagaimanapun, generasi milenial menyarap komunisme dengan cara yang sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya. Pilihan ini harus dihormati, karena siapa yang tahu jika justru dengan cara semacam ini bangsa dapat rileks dengan masa lalunya, dan tak melulu menjebak diri dalam kubangan beban traumatik yang mendera bertahun-tahun lamanya.
Mereka memutar jarum sejarah agar terus dalam gerak maju. Cieee.