
Tak selamanya anak kos kere, Sungguh…
Mari kita sepakat jika banyak yang masih berprasangka bahwa manusia-manusia indekos selalu berada di barisan terdepan antrean makanan gratis. Tentu saja ini ngawur, penuh stereotipe dan datang dari pemahaman yang tidak holistis. Masih ada harap bahwa anak kos sebenarnya memiliki banyak peluang menjadi kaya.
Pertama, anak kos adalah seorang filsuf cum pemikir. Selain mikir karena kehabisan beras, kopi, air galon, atau lupa ngunci pintu kamar pas pergi ke Sutos, anak kos juga banyak merancang strategi agar terhindar dari utang-piutang. Tentu saja caranya bukan dengan bersembunyi, tapi kerja, kerja, kerja. Jenisnya banyak. Mulai dari pekerjaan internal dan eksternal kampus, hingga yang paling bergengsi kalau diajak riset bersama dosen—suatu kebanggaan yang acapkali dibayar sekedar suwun.
Kedua, peluang ini yang paling memungkinkan anak kos jenis mahasiswa bisa menjadi kaya tanpa wisuda. Dalam buku yang disusun oleh Richard Tanter, Kenneth Young, dan kawan-kawan (1993), berjudul “Politik Kelas Menengah Indonesia”, banyak menyebutkan bahwa kelas menengah berada di titik fungsional sebuah Industri. Berbeda dengan kelas atas yang berkutat pada akumulasi modal atau kelas bawah yang sibuk memproduksi barang. Kelas menengah mengantarai keduanya. Selain itu, kelas menengah juga bisa dilacak dengan mengukur estimasi waktu produktifnya.
Semisal kelas menengah golongan mahasiswa, paling-paling waktunya digunakan dari jam 08.00 – 11.30. Itu pun kalau ada dosen. Sisa waktu lain digunakan untuk menghafal lagu, dari yang patriotik sampai menye-menye, dilanjut dengan membuat instastory gambar gelap + lampu kelap–kelip ala tumblr.
Adakah yang berani mengajak anak kos untuk merumuskan masalah sosial sembari mengisi kekosongan produktif mereka? Siapa tau bisa memantik semangatnya bekerja demi hidup yang lebih baik. Daripada leyeh–leyeh seharian di kamar mendengarkan kimcil kepollen.
Pak Agus
Pernahkah terbit perasaan iri pada para koruptor alias pencuri duit rakjat? Membuat rugi negara lho kok hukumannya jadi anak kos. Sudah begitu difasilitasi tempat olahraga, disediakan sarapan dan makan malam (semoga aja ada micinnya), tak perlu takut kelaparan, kalau sakit bisa langsung dilarikan ke klinik tanpa antre model bpjs. Duh! Nikmat negara mana lagi yang kau dustakan, mas, mbak?
Kabarnya, tempat yang lebih mirip kos-kosan itu mampu menampung sampai 37 ekor tahanan, dilengkapi kipas-angin dan kamar mandi dalam. Pasti ada wifi-nya, cuma tak pakai password, percuma. Oleh mereka, apapun yang tersembunyi akan gagal menjadi rahasia. Di Surabaya saja dengan fasilitas sedemikian lengkap dengan kisaran harga sewa 800 ribu perbulan, sudah bisa ditebak kos tersebut hanya untuk/khusus kelas atas.
Juga mereka ndak butuh jadwal piket ngisi air galon, apalagi pergi ke konter buat beli pulsa listrik. Tak perlu khawatir, dalam naungan pak Agus semua tuntas tanpa masalah. Ya, pak Agus Rahardjo, ketua KPK itu, bapak kos mereka-mereka.
Hanya saja pak kos terlalu mengabaikan jumlah penghuni, sebab tiap rezimnya pasti bakal ada yang nge-kos di sana. Tolong, ya, pak, kamarnya ditambah. Sebentar lagi ada yang mau daftar, tuh. hehe
Sekali lagi, pembaca yang budiman, agaknya kita juga harus mengurangi stereotip jika anak kos itu hidupnya selalu malang dan berada di barisan terdepan antrean makanan gratis. Karena embrio seorang borjuis tertanam di cara berpikir mereka. Kita hanya cukup berdoa agar kids jaman now sesegera mungkin meniatkan diri untuk merubah dunia dengan cara yang adil. Dan mengikutsertakan orang banyak dalam kesejahteraan. Bukan malah seperti anak-anak kos asuhan (dipelihara) pak Agus Rahardjo yang meneruskan hirarki kejahatan.
Sekarang kita sedang dihadapkan oleh berbagai dinamika yang meliputi dua dikotomi pilihan: jujur tapi sengsara atau bohong tapi bahagia. Dari dua studi kasus antara anak kos versi mahasiswa dan versinya pak Agus, kita bisa mengambil hikmah bahwa kesuksesan itu dirintis dari keterbatasan.
Saya tahu betul bagaimana rasanya jadi anak kos, karena saya sudah membuktikan itu secara empiris. Memang kerap kali kita digoda untuk melakukan tindakan di luar norma atau ngerinya lagi sampai melanggar hukum demi tetap hidup. Contoh, maling ayam untuk pedagang crispy yang konon katanya mau menyaingi kentaki milik Amerika. Ada juga yang saat cangkruk makan gorengan 9 tapi yang dibayar cuma 2.
Kids jaman now, sesungguhnya cara-cara ini keliru, seumpama bertani, apa yang kita tanam suatu saat akan kita panen. Dan jika dibiarkan terus-menerus, ini bisa membudaya hingga anak-cucu kita. Tetapi begitu lah yang sedang terjadi sekarang. Kita dapat melihat betapa kebiasaan ini masih diabadikan oleh anak-anak kos asuhan pak Agus. Untuk itu, kita sebagai indekos yang masih menyandang tugas mulia seorang mahasiswa, mari, bersama-sama meluruskan sejarah dan membangun kembali tradisi kejujuran. Tutup rapat-rapat niatan buruk macam mencuri sekalipun lapar sudah mencapai puncaknya. Bekerja lah dengan sungguh-sungguh, insyaallah, Tuhan tidak menutup rezekinya untuk kita.
Eh, betewe, jangan lupa bayar kos ya, jangan sampai ditagih, apalagi pura-pura sakit…