
Oleh: Teguh Andi Raharjo
Belakangan ini, isu mengenai keberadaan transportasi online menjadi hangat di perbincangkan. Bukan hanya karena memang banyak netizen yang merupakan penumpang sekaligus pengemudi setia (sehingga kisah cinta, lucu, dan sedihnya dapat ditemukan di banyak platform media sosial), namun aksi protes menentang fenomena ini oleh transportasi konvensional yang beberapa kali berujung kekerasan semakin sering terjadi. Belum lagi pelarangan sana-sini, yang beberapa kali disertai hukuman seperti menghabiskan bensin dan pengguntingan SIM di beberapa tempat, juga terjadi kepada para pengemudi transportasi online.
Sebenarnya, permasalahan dari ini semua ada di mana?
Pada dasarnya, semua akan kembali ke zat paling lezat yang ada di muka bumi ini: Uang.
Menurut data dari Kementerian Perhubungan pada tahun 2015, terdapat kurang lebih 24 ribu unit angkutan kota yang terdaftar di Jabodetabek. Sebagai perbandingan saja, satu angkatan sekolah saya dulu terdiri dari sekitar 300 orang, sehingga jumlah tersebut kurang lebih sama dengan 80 angkatan sekolah. Di kampus saya, satu angkatan mahasiswa bisa berjumlah kurang lebih 15 ribu, sehingga jumlah tersebut hampir setara dengan 2 angkatan mahasiswa. Itu baru untuk angkutan kota terdaftar di Jabodetabek saja, belum yang tidak terdaftar dan yang ada di kota-kota lain.
Lalu coba pahamilah dari jumlah tersebut sebagian besar adalah bagian dari yang bertanggung jawab atas sumber penghasilan keluarganya, sehingga protes disana-sini adalah hal yang dapat dipahami meskipun tidak selamanya juga dapat dimaklumi. Lebih-lebih, transportasi online ini belum memiliki dasar hukum dan regulasi yang jelas, didukung netizen pula! Bagaimana nggak ngambek?
Dari sini saja terdapat beberapa poin yang dapat kita pahami.
Pertama, bahwa harus dipahami transportasi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan masyarakat modern sehingga memiliki pasar yang besar. Maka, wajar saja ketika hal menggiurkan seperti ini tidak dikelola dengan baik, akan selalu ada pihak yang mencari celah untuk mengambil hati pasar. Ya, dalam hal ini, transportasi online dengan segala kemudahan, kenyamanan, dan kemurahannya. Disinilah teknologi dan sistem perekonomian terbuka berperan untuk menggantikan cara lama yang sulit untuk beradaptasi.
Yang merujuk pada poin kedua, yaitu rendahnya daya adaptasi transportasi konvensional selama ini. Aplikasi-aplikasi transportasi online ini sebenarnya bukan “barangbaru” di dunia. Uber, salah satu dari sekian yang paling populer di dunia, telah merilis aplikasinya sejak tahun 2010. Seandainya, dari tahun 2011 saja, perusahaan dan instansi transportasi Indonesia sudah mulai melihat potensi ini dengan segala kapasitas dan kapitalnya, maka tidak menutup kemungkinan justru transportasi konvensional merevolusi dirinya sendiri.
Ketiga, minimnya regulasi sejak dini dari pemerintah. Sejak tahun 2011 GoJek sudah mulai beroperasi dan baru dua tahun belakangan saja ramai-ramai pemerintah melakukan regulasi. Kalau kata orang Surabaya, ya kasep! Sudah terlalu banyak orang yang terdampak oleh transportasi online, mulai dari banyaknya pengemudi transportasi online, terusiknya pengemudi dan model transportasi konvensional secara keseluruhan, hingga pengguna yang telanjur asyik membagikan kisah bersama transportasi online ini.
Posisinya kini serba salah: Pemerintah ingin meregulasi agar semuanya dapat hidup berdampingan dan aman, transportasi online yang teregulasi merasa dirugikan karena adanya pembatasan atau bahkan pelarangan operasi, hingga transportasi konvensional terlanjur dirugikan oleh semua ini.
Yang kemudian merujuk pada poin akhir, kurangnya jaminan atas pengguna dan pengemudi transportasi online maupun konvesional. Pengemudi transportasi online yang terkena hantam, demo, dan terpaksa tidak beroperasi hanya bisa pasrah karena tidak ada jaminan dari perusahaan—sebab dianggap sebagai mitra dan bukan karyawan. Seandainya mereka ini dianggap sebagai karyawan, maka perusahaan transportasi online memiliki tanggung jawab atas keselamatan nyawa dan perut mereka. Pengemudi transportasi konvensional juga begitu, karena selama ini tidak digaji oleh pemerintah dan harus setiap hari kejar setoran tanpa ada jaminan bahwa mereka akan makan tiap harinya. Pengguna jelas dirugikan karena sudah sulit untuk balikan dengan transportasi konvensional dan minimnya jumlah transportasi umum yang tersedia itu sendiri.
Jadi, mau dikemanakan nasib transportasi Indonesia?
*Teguh Andi Raharjo, seorang mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga yang ngakunya sudah semester tua tapi skripsi belum ada kemajuan.