
Belakangan konflik segitiga mbulet antara Negara, angkutan konvensional, dan penyedia jasa transportasi online, makin menajam. Di Yogyakarta, seorang pengemudi taksi online yang kepergok menjemput penumpang di bandara, ditelanjangi tanpa ampun. Sedang di Surabaya, terjadi razia dan penurunan penumpang secara paksa. Di Jawa Barat lebih radikal lagi, pemerintahnya bersepakat melarang sama sekali operasi angkutan online. Terjadi tolak-tarik antara mereka yang mengimani fungsi ojek dan taksi online di satu sisi, dan mereka yang mempersetankan di sisi lain.
Petisi mulai ditebar di sana-sini, mencoba menggalang tanda tangan demi tetap terselenggaranya hilir-mudik yang nyaman berbasis aplikasi online. Orang mulai gelisah lantaran tak lagi mendapat servis nyaman bin murah atau leha-leha bermewah-mewah dengan mobil mulus keluaran baru (pernah pesan diantar Alphard untuk kondangan?).
Akan tetapi, okelah, bemo dan lyn masih bejat. Bus kota masih dekil dan bau pesing. Trotoar masih pecah dan rompal di sudut-sudutnya. Becak makin mirip kura-kura dan sangat jauh dari semangat jaman now. Tapi mereka telah menghidupi orang-orang melarat selama bertahun-tahun: dari kernet, sopir, tukang kutip setoran, penjual slayer penutup raimu, pengamen, penjaja koran, peminta-minta, tukang rokok-kacang-permen-kwaci, preman terminal, sampai para pengepul sumbangan yang berkeliling dari satu angkutan ke angkutan lain.
Selain karena Tuhan suka angka ganjil, tujuh dosa dan sesat pikir berikut ini akan mencoba memberi perimbangan, bahwa angkutan online tak melulu bisa dianggap surga:
Pertama, menimbulkan ilusi pengentasan kemacetan. Beberapa penyedia angkutan online mengklaim bahwa mereka adalah solusi brilian untuk mengurai kemacetan. Lewat prinsip berbagi kendaraan, seolah-olah logis andai dibayangkan para pemilik motor dan mobil bekerja sama memberi tumpangan pada mereka yang tak punya fasilitas transportasi. Kolaborasi ini, syahdan, akan menurunkan kepadatan lalu lintas. Faktanya, pasca aplikasi transport online ini membuka lowongan, angka kredit motor dan mobil melonjak drastis. Orang yang tak punya mobil nekad mencicil mobil demi jadi sopir taksi online. Akibatnya jelas sekali: kepadatan jalan makin runyam. Di Surabaya saja, armada taksi online melonjak hingga mencapai angka ribuan mobil. Kemacetan bertambah parah. Yogyakarta setali tiga uang.
Kedua, mengaburkan skema pekerja dan majikan. Bisakah dibedakan siapa pekerja dan siapa majikan dalam skema transportasi online? Pak sopir adalah pemilik mobilnya (modal pribadi) yang seharusnya menempatkannya sebagai majikan, tetapi ia juga menjadi buruh dari penyedia aplikasi online (yang memotong pendapatan di tiap rute dan tiap waktu yang ditempuh). Pendeknya, sopir itu menjadi majikan sekaligus buruh pada saat yang sama! Ini absurd sekali, dan sudah barang tentu akan membangunkan simbah Marx dari kuburnya.
Ketiga, memicu risiko gagal kredit. Kenekadan dalam membeli-cicil terang sekali akan memicu kekhawatiran gagal bayar—kalau-kalau sepi penumpang dan modal tak kembali, atau pengemudi jatuh sakit hingga tak bisa bekerja, atau bisnis aplikasinya minggat gulung tikar. Sebuah risiko yang tidak saja membahayakan ekonomi, tetapi juga menyimpan efek domino sosial bagi keluarga.
Keempat, mendorong liberalisasi penuh di tangan pasar. Dalih “menciptakan kenyamanan yang murah” telah mempesona pasar—yang tidak lain adalah kita sendiri—untuk jatuh hati pada transportasi online. Negara ditolak untuk ikut campur dan dituding membatasi pilihan transportasi. Ini ciri yang sangat khas dari liberalisasi, ketika dalam persoalan dan konflik seberat ini Negara diminta minggir.
Kelima, menghajar kota dengan polusi. Eskalasi puluhan ribu ojek dan taksi online yang berseliweran dalam satu kota pasti menyumbang banyak derajat polusi. Tak perlu dibantah lagi.
Keenam, ketergantungan teknologi. Tarif pasti, rute pasti, penjemputan pasti—semua dipandu secara kaku oleh teknologi. Tak ada lagi sensasi tawar-menawar tarif—yang menghidupi bertahun-tahun relasi sosial masyarakat kita. Juga punah di sana segala spontanitas penumpang. Transportasi online adalah transportasi yang sangat mekanis. Begitu dingin dan tak hidup.
Ketujuh, menciptakan generasi tempe dan menye-menye. Siapa yang masih sudi naik becak? Pernah dengar kan, muda-mudi yang jijik berpanas-panasan jalan kaki dan memilih mejeng di taksi online kendati tujuannya tak sampai satu kilometer? Ini potret dari paduan antara gengsi dan hilangnya akal sehat.
Pembaca harus tahu bahwa bisnis utama dari transportasi online adalah aplikasi perangkat lunak itu sendiri. Mereka diprogram untuk “membaca” kita: mengetahui rute kita, menghapal selera kita dari pilihan makanan yang kita pesan lewat aplikasi, memprediksi daya beli kita, dan dari sana ditarik sebuah pola algoritmik tentang karakteristik kita. Tujuannya? Data-data kitalah nanti yang dijual kepada pengiklan/mitra bisnis lain, sebagai pasar.
Dalih lain yang biasa dipakai: mengapa pengemudi transportasi konvensional tidak bergabung saja ke segmen online?
Tukang becak yang hidupnya megap-megap senin-kemis diminta kredit motor? Diminta juga mencicil smartphone?
Ojek terminal yang motornya Astrea 93 diminta beli baru? Pengemudi yang usianya 50 tahun ke atas disuruh belajar GPS, manajemen aplikasi, dan menghitung kupon-kupon potongan online? Berapa lama sampai ia bisa menguasai, sebelum makin kere?
Pembaca pasti masih berakal sehat untuk membayangkan jawaban dari pertanyaan itu.