Kita (Tidak) Lebih Baik dari Kids Zaman Now

Dulu, saat masih sekolah dasar, saya pernah kena nyinyir kakak kelas. Disindir, ditaksir (uhuk), di-bully di depan mereka.

Tapi—mungkin tiap-tiap kita kini sudah lupa bagaimana kita diperlakukan senior kala dulu. Senior yang hobi ikut ghibah terhadap adik kelas saat mereka lebih hits dari siapapun di angkatan tua. Adik kelas unyu-unyu tadi kena bully—hanya karena mereka dirasa lebih trendi dan kekinian ketimbang yang tuwek-tuwek.

Lupakan drama-drama labil ala anak sekolahan, mari pergi ke masa kini.

Saya seringkali mendengar Ayah saya membanding-bandingkan perkuliahannya di tahun 80-an dengan perkuliahan saya sekarang. Bukan cuma soal biaya kuliah dan gadget-gadget kuliah macam proyektor atau alat praktikum yang makin lumrah, tapi juga soal kehidupan kemahasiswaan yang kadang menyita waktu. Sering pulang malam, akhir minggu tidak di rumah, dan sebagainya.

Berani taruhan, deh. Ayah saya juga dibanding-bandingkan generasinya oleh kakek saya. Jangan-jangan saat generasi saya sudah punya anak, kami akan melakukan hal yang sama pada mereka.

Kalau memang terlalu jauh membandingkan saya dengan Ayah saya yang lahir pertengahan 60-an, mari bandingkan kakak saya, saya, dan adik saya.

Kakak saya lahir di awal 90-an. Saya lahir akhir 90-an, dan adik saya ada di awal 2000-an. Generasi kakak saya kenal dengan kaset pita, beyblade, dan kartun Minggu pagi. Adik saya kenal aplikasi lagu di ponsel pintar, fidget spinner, dan nonton YouTube. Saya? Tidak jelas. Bukan tipikal anak berciri 90-an, sekaligus juga bukan berkarakter 2000-an juga. Saya kenal kartun minggu pagi, tapi belum sempat mendengarkan lagu lewat kaset pita.

Kakak saya dan generasinya seringkali bernostalgia dengan gadget-gadget  yang tumbuh bersamanya. Hey, tidak ada yang salah dengan itu. Yang sebenarnya membuat saya bertanya-tanya adalah kalimat “Kids zaman now bisanya cuma bermain smartphone, bukan bermain layangan di lapangan”.

Baca Juga :  Tulisan Belakang Truk dan Pantulan Keruwetan Kita

Oke. Saya setuju kalau bermain di lapangan punya efek sehat lebih baik daripada smartphone. Tapi saya yakin penutur tidak sedang membicarakan kesehatan. In spite of konten-konten negatif di smartphone, dia punya banyak sekali efek mendidik. Dia memudahkan komunikasi. Satu lagi, dia juga digunakan oleh generasi tua di atas saya. Podo ae.

Banyak juga produk-produk generasi Kakak saya yang masih relevan hingga sekarang. Jajanan anak sekolah salah satunya. Atau, menjadi relevan lagi. Produk fashion misalnya. Tapi dengan berkembangnya teknologi, dunia akan selalu berubah, dan begitulah seharusnya. Perubahan berarti perkembangan, perkembangan berarti kemajuan.

Jadi sampai kapan senioritas dunia ini akan berlangsung? Apakah Adik saya juga akan nyinyirin generasi bawah-bawahnya?

Kalau berbicara soal ini, saya ingat isu rasisme. Contoh yang agak ekstrim. Tapi coba pikirkan ini: dia yang merasa darahnya paling Indonesia akan selalu merasa paling baik diantara yang sudah tercampur-campur darahnya. Dia yang merasa lebih tua, selalu merasa bahwa mereka lebih bahagia karena khatam bertemu benda-benda tertentu.

Bukannya kita juga melakukan perlawanan pada yang lebih lama? Cara-cara dulu kadangkala punya beberapa kekurangan. Meski punya tujuan yang sama, dan sama-sama tercapai jua. Tapi bila yang baru tidak dicoba, mana bisa kita berkembang?

Yang baru lebih segar, yang muda yang berkarya. Kita-kita, generasi baru yang menggantikan yang dulu. Katanya. Tapi pertanyaannya masih sama. Apakah anak yang lebih muda dari, tidak boleh lebih baik daripada kita? Apa biar terus-terusan begini-begini saja?