
Kalau pahlawan didefinisikan sebagai figur berjasa bagi bangsa-negara, yang darinya seisi anak bangsa hari ini berhutang terlampau banyak, maka menjadi sah jika kami deklarasikan pahlawan kita hari ini adalah perpustakaan. Indikator lain kepahlawanan adalah bahwa figur/sosok itu biasanya telah almarhum. Sudirman, Otto Iskandar, Tan Malaka, Soeharto (ups), sudah tiada dan juga biasa disebut pahlawan.
Tepat sekali bukan? Tidakkah kini perpustakaan-perpustakaan mirip zombie tak bernyawa? Sudah terbunuh atau kita bunuh dalam pilihan-pilihan di pikiran kita?
Padahal, bukankah masa-masa belia kita juga diiringi kenangan berkunjung ke perpus yang berjasa amat banyak pada pengerjaan tugas dan hal-hal lain?
Di abad pertengahan, para pendeta ordo Benedictus berpayah-payah melestarikan dan menciptakan perpustakaan yang menyimpan literatur kuno jaman Hellenis untuk diwariskan pada para generasi sesudahnya. Di masa kini, enam puluh empat gigabita memori dalam ponsel pintar kita mampu menyimpan buku lebih kaya dibanding perpustakaan kampus—yang sepi dan makin angker itu. Jauh sekali bedanya bukan?
Siapa yang masih meminjam buku ke perpus ketika berita-berita atau artikel dan e-book, yang asli maupun abal-abal, makin cepat dan mudah didapat? Atau, yang lebih cetha, siapa yang masih bersemangat memburu buku-buku klasik di rak-rak magis, sementara blingsatan tatkala WhatsApp, beberapa hari yang lalu, kolaps mendadak dan berhenti layanannya?
Semua hanya membuktikan bahwa kita makin melupakan kepahlawanan yang telah disumbang perpustakaan-perpustakaan itu.
Ruang perpus, yang kini menjadi makin dingin sekaligus sendu, adalah alternatif yang dulu acapkali diakses demi mencapai pengetahuan, tidak harus melalui guru atau dosen sebagai sumber pengetahuan tunggal. Perpustakaan secara tidak langsung mampu menumbuh-kembangkan kesadaran kritis dan kemandirian orang untuk mencari ilmunya sendiri, bukan cuma diandalkan dan mendadak ramai karena dipaksa guru atau dosen. Bukan hanya didatangi semata lantaran di sana sumber wifi cepat melesat dan gratis pula.
Di samping itu, perpustakaan bukanlah sekedar ruang fisiologis yang berisi deret demi deret buku. Lebih dari itu, perpustakaan adalah ruang kultural di mana terjadi pertukaran ide-ide dan imajinasi sosial bagi para penggunanya—juga tempat tepe-tepe pada para aduhai kutu buku berkacamata yang manis. Ruang perpustakaan dapat digunakan sebagai, apa yang disebut Jurgen Habermas, “ruang publik” (public sphere), tempat terjadinya kebebasan mengakses informasi, memperbincangkan serta mendiskusikan suatu isu dengan leluasa dan otonom.
Kota-kota metropolitan memiliki luas raksasa dan dipenuh-sesaki dengan himpitan gedung mal yang menjulang. Perpustakaan silakan minggir dulu dari prioritas pembangunan. Buku-buku tak lagi penting karena kecerdasan bukan lagi urusan Negara: perkara otak kini menjadi tanggung-jawabmu sendiri!
Pahlawan memang ditakdirkan untuk selalu dalam ancaman dilupakan. Itu sebabnya kita diminta terus mengingat-ingat.