
Bayangkan, pas kita lagi enak-enak menyetir motor ke kampus, tiba-tiba dari kanan nyelonong motor tanpa pengemudi (mungkin juga tanpa ban). Bisa jadi, saking muaknya sama jalanan beserta seluruh peristiwa syaithonnirojiim di dalamnya, motor itu kini bisa mumbul. Kita tak perlu lagi capek-capek nyalip sana-sini untuk menghindari kemacetan atau sekedar kubangan tai air yang keberadaannya susah diprediksi.
Bayangkan juga, berapa dosa yang bisa kita hemat karena nggak perlu lagi misuhi jalan?
Jangan tanya soal imajinasi apalagi itu. Teknologi yang lima sampai sepuluh tahun lalu hanya ada di pikiran kita—dan filem, tentunya—saat ini banyak yang mulai terwujud. Sebut saja, auto-car, mobil tanpa pengemudi yang cocok buat para wanita karir (dan menyusui) yang tak sempat make-up di rumah; hoverboard, inovasi kendaraan tanpa roda, memakai baling-baling bambu yang berputar sekian ribu rpm agar bisa menyamai aksi-aksi lincah layaknya filem Star Wars; serta yang paling kontroversial ialah penciptaan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, yang bisa membuat dan memperbarui programnya sendiri tanpa bantuan manusia.
Meski masih dalam tahap pengembangan, namun pro dan kontra soal penemuan AI terus mencuat. Ada yang berpendapat bahwa AI bisa lebih berbahaya dari manusia sekalipun, sebab (sebut saja) robot itu akan menjadi susah dikendalikan. Bagaimanapun, ia adalah serangkaian program yang didesain “pintar”—ia dapat merekam pola-pola tertentu sekaligus membuat prediksi tentang perilaku seseorang.
Smartphone pun menerapkan sistem kecerdasan buatan, hanya saja dalam bentuk yang sangat sederhana. Saking pintarnya, bahkan kita merelakan daya ingatan dan intuisi pada satu benda mungil itu. Saat kalian nulis ultah pacar di notes, ponsel sudah bekerja untuk mencari kado atau teknik surprise macam apa yang cocok. Harusnya, target operasi cemburu paling tepat di zaman now adalah ponselmu sendiri.
Maka benar kalo simbah Stephen Hawking marah besar dengan teknologi AI. Menurutnya, ketika pengembangan teknologi itu sudah mencapai ma’rifat, bisa saja ia mendesain ulang programnya sendiri lalu membangkang sama penciptanya. Dalam kondisi paling sial, robot-robot yang diisi kecerdasan buatan bisa sewaktu-waktu mendeklarasikan perang kepada manusia, bahkan sampai memusnahkan manusia!
Persis sama filem-filem Amerika yang cuma cari duit.
Namun seyogyanya sebagai umat budiman, kita tidak boleh punya prasangka buruk terhadap apapun. Teknologi robot AI terbukti sangat berguna bagi kebutuhan manusia. Mulai dari makan, minum, nongki, kencan, nugas, dan sederet kegiatan lain bisa termudahkan dengan cuma ngomong: oke, gugel!
Atau bagi mahasiswa semester tanggung yang kebelet dikejar dosen (jomblo pula), pastinya jadwal tidur nggak ada yang ngingetin akan keteteran sehingga butuh assistant dalam bentuk aplikasi seluler. Persis jadwal imsakiyah di TV.
Baru-baru ini, robot dengan AI sudah diciptakan di Saudi Arabia dengan nama Sophia. Ia bahkan mendapat kewarganegaraannya sendiri. Dilihat dari fisik, ia lebih sempurna dan ekspresif dari robot-robot terdahulu yang lebih mirip kaleng krupuk.
Dalam politik, Sophia bisa sangat berguna dalam membantu delegasi maupun pengambilan keputusan. Mungkin, kecerdasan buatannya bahkan bisa memprediksikan sampai tanggal berapa kira-kira Presiden Trump main golf di Bukit Mas dengan Fadli Zon. Atau, prosentase popularitas Ahmad Dhani dibandingkan Nassar ketika mau maju jadi Cagub Jatim.
Nantinya, di saat-saat krisis, Sophia tak perlu kuatir tanggungan rumah sakit waktu dipanggil sama KPK, sebab menghilangkan data kriminal tampaknya lebih mudah dari cuma update foto sakit. Apalagi sampai harus melaporkan balik orang-orang cilik bin nganggur yang kebetulan lagi panjat sosial dengan mengunggah meme.
Paling tidak, Sophia nggak punya perasaan sehingga tak perlu takut di-dzolimi.
Paling-paling, nanti akan muncul banyak pertanyaan, “eh, Sophia, ente kok nggak berjilbab sih? Emang nggak malu sama auratnya?”
Lalu dengan satu jawaban pamungkas, ia jawab: lha wong aku ini robot feminis, kok!