
Saking banalnya kata ‘politik’ (dengan p kecil) mendominasi pikiran masyarakat, hingga-hingga tak jarang para aktornya melenakan diri menggunakan cara yang jauh dari etis saat mengartikulasikan tujuan. Kelakuan ini yang sering mengarahkan pandangan masyarakat pada persepsi purba: politik itu kotor—mohon dibaca dengan nada girly agar tak terkesan murung.
Para elite biasanya akan menganggap hal tersebut adalah sesuatu yang lumrah dalam perpolitikan. Karena barangkali “politik itu kotor” hanya akan menjadi redaksi yang naif. Apalagi berpolitik dengan goals perebutan wilayah kekuasaan yang lebih luas, rupanya bukan tidak mungkin lebih “kotor” dari kata “kotor” itu sendiri.
Nah, pembaca yang budiman, terkhusus sampeyan yang pernah jadi mahasiswa (dengan m kecil), mari kita mengenang-ngenang masa ketika suara mahasiswa hanya diperhatikan dalam penentuan jabatan macam pemilihan ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Mudah-mudahan perpolitikan kampus mampu menyamai keseruan perpolitikan nasional.
Jadi Begini
Menciptakan iklim demokrasi dalam tradisi pemilihan ketua BEM seringkali dihadirkan sebagai bentuk terwujudnya sistem politik yang membuat semua manusia di hadapannya adalah sama. Simbah Abraham Lincoln dalam pidato Gettybungnya, mengucap kalimat termasyur demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Jika dibungkus dalam sebuah definisi singkat, maka, kepentingan rakyat yakni nomor wahid.
Bisa ditebak, pertanyaan warisan dari definisi tersebut yaitu, rakyat yang mana, jhe? Mengingat rakyat terdiri dari latar belakang golongan yang beragam, secara otomatis aturan hidupnya pun demikian. Ada yang mau dipimpin, ada yang masih mikir-mikir.
Hal serupalah yang sering terjadi di kampus. Segelintir golongan yang mewarnai identitas mahasiswa kerap menimbulkan persaingan. Alasan gengsi dipimpin oleh golongan dari yang bukan golongannya pun menjadi muara persaingan antar mahasiswa. Yang kita sadari, mustinya mahasiswa itu bersolidaritas. Bukan saling tikung. Sebab ini bukan peristiwa asmara dan tak ada hubungannya dengan adegan romantis. Ndak baper kok
Dalam perpolitikan kampus, maba (mahasiswa baru) dianggap sebagai individu yang idealismenya masih lunak. Mainnya kurang jauh, ditambah pulangnya sebelum maghrib. Dengan (khawatir) daya pikir tidak cukup cemerlang, segala bentuk paham—dari yang malu-malu, sopan hingga yang paling kurang ajar—sangat rawan merasuki mereka. Dan menyesal kemudian. Situasi ini lah yang mengharuskan edukasi politik itu penting.
Ketika misalnya partai politik nasional terlalu sibuk dalam aktivitas elitis hingga luput dari kewajiban memberi edukasi politik pada masyarakat, dibutuhkan lah peran organisasi mahasiswa dalam hal ini: PMII, GMNI, KAMMI, HMI, dsb. Sehingga, apabila generasi muda telah memasuki dunia perkampusan sampai dunia yang lebih dewasa lainnya, mereka tak perlu kagok jika dihadapkan pada sembarangkalir instrumen politik.
Ndak tau lagi kalau organisasi ini pun juga ikut-ikutan macak elite. Karena bukan rahasia umum jika mereka juga yang memberi sponsor besar dalam pemenangan politik kampus. Atau jangan-jangan yang muda-muda itu sengaja dibiarkan memilih tanpa edukasi serta pemahaman yang jelas. Mengingat kata teman saya, bung Tatit Pandji, “dalam politik, isi kepala tidak penting, yang terpenting ialah jumlah kepala”. Jadi,andaikan kepala maba itu pintar duluan, agaknya akan sulit diajak kompromi. Padahal tantangan saat proses penjaringan suara tersebut lah yang menjadi pusat estetika politik. Begitu.
Lucunya, tradisi kampusan memilih ketua BEM ini seringkali mendapat porsi lebih sibuk oleh mahasiswa. Dibanding turun ke jalan membela kaum tertindas: buruh, tani, rakyat miskin kota—semua kelompok yang hanya indah dan menggetarkan tatkala dinyanyi-nyayikan lewat lagu wajib perjuangan mahasiswa. Ironis memang ketika mahasiswa malah hanya mengerjakan hal-hal trivia seperti perebutan kekuasaan hingga saling menjatuhkan. Jauh dari solidaritas. Padahal selain tradisi politik praktis nan seremonial itu, tradisi penindasan oleh penguasa masi mapan di luar sana.
Saya tidak cukup berani memberi kesimpulan, bilamana keadaan mahasiswa seringkali terkesan mengamankan status-quo, sehingga tugas pokoknya memberi perlindungan pada bangsa terpinggirkan. Namun, apakah pekerjaan politik kampus oleh mahasiswa, sudah cukup merepresentasikan situasi politik nasional kita sekarang? Mungkin.
NB: Oh ya, sebab mengapa p dan m harus ditulis kecil, silakan klarifikasi editor tulisan ini. Katanya: “biar misterius”.