
Oleh: Mairetha Yuniar S. D.*
Perang melulu identik dengan pedang, peluru, mortir dan lain-lain. Pokoknya senjata. Kalau itu indikatornya, kita memang nggak lagi perang hari ini. Tapi, apa memang iya? Tantangan generasi milenial hari ini berbeda sama sekali dengan generasi yang hidup di era kejayaan militer dan industri. Generasi milenial hari ini bukan berarti lagi tidak punya musuh.
Perangnya milenial justru yang paling absurd. Nggak jelas mana kawan, mana lawan. Salah sikat bisa baper. Eh. Seringkali yang perlu diperangi oleh milenial adalah kesadarannya sendiri: peka kalau dia sebenarnya sedang diserang, sedang di-brainwash gadgetnya sendiri, dan bahwa nongki di Setarbak otomatis lebih keren daripada makan rujak cingurnya Mbok Nah.
Jadi, siapa bilang hari ini kita (aku dan milenial) sedang tidak terjajah? Ketidaksadaran bahwa kita sedang diintervensi itu justru salah satu indikasi keberhasilan dari invasi terselubung. Manusia jaman now dibuat sedemikian tergantung oleh apel prematur itu. Berani taruhan, tiada kuat milenial seharian tanpa mengintip HPnya.
Sadarkah kita? Alat yang kita puja-puja itulah salah satu instrumen pemecah belah yang paling efektif. Sampah informasi bertebaran. Bikin otak kita susah steril dari hoax dan propaganda iklan obat kuat. Informasi-informasi yang seliweran di ruang maya itu mudah menjelma sumbu pendek, siap meledak kapan saja. Jadi, siapa bilang poltik devide et impera itu sudah hilang? Kita itu masih terjajah, jhe!
Sejak CIA sukses mendalangi G30SPKI dan MC Moran menguasai Freeport seizin Mbah Harto si serigala berbulu marmut itu, sebenernya di titik tersebutlah kita dengan murah menjual diri pada asing dan dijajah lagi. Imperialisme tidak benar-benar melepaskan Indonesia, ia hanya mengubah bentuknya.
So, para milenial… kalau bergaul jangan berlebihan! Seperti kata orang alim, semua yang berlebihan tidak baik. Kalau kalian lagi jatuh, tak usah galau apalagi terpuruk. Duh seriusan, masih banyak orang lain yang lebih susah dari kita. Coba tengok tetangga sebelah gang, janda miskin tidak makan tiga hari, banyak anak kecil yang terpaksa nguli setelah putus sekolah, ada seabreg masalah yang harus kita bereskan. Hiks.
Kalau dunia kita cuma berputar dalam naungan Instagram – Line – Path dan koleganya, bonus demografi justru akan jadi musibah bangsa. Tapi tenang, untuk jadi superhero di era perang absurd ini, kita tidak harus berdarah-darah sambil menenteng dengan gagah bambu runcing, apalagi jadi Gatotkaca.
Kita bisa memilih jalan kepahlawanan lewat bidang-bidang yang kita suka. Kemiskinan, kesenjangan, meluasnya privatisasi, maraknya pembajakan karya, bertebarnya hoax dan video porno sejatinya dapat diatasi dengan harus segera menggarap dan mengumpulkan PR sekolah. Nggak akan rampung kalo dikerjakan sendiri-sendiri! Katanya Persatuan Indonesia?
*Penulis adalah mahasiswa jurusan Sosiologi yang sedang riweuh skripsi