
*Ilustrasi: Abduh Rafif Taufani (@yth.rafif)
Mengapa mahasiswa butuh KKN?
Pertanyaan ini barangkali menguras tenaga dan sukma pembaca sekalian untuk menemukan jawabnya. KKN tentu saja bukan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (walau mahasiswa sering melakukannya, misalnya korupsi absen kuliah). Ini tentang Kuliah Kerja Nyata, yang katanya mampu membuat mahasiswa terjun ke masyarakat dan peduli pada ‘mereka yang membutuhkan’.
Terlepas dari cita-cita yang teramat mulia dan untuk sekadar memenuhi tri dharma perguruan tinggi, KKN dan segala kisahnya mengandung unsur-unsur lawakan yang setidaknya bisa membuat kita tertawa.
Yang satu ini bisa jadi bonus manis yang paling dinanti. Cinta lokasi tidak bisa terhindar apabila dua insan dipaksa tinggal dalam satu atap selama hampir sebulan. Ada banyak drama mulai dari yang bertemu jodoh, selingkuhan, hingga pacar orang gara-gara KKN.
KKN ini juga barangkali harus didukung penuh terutama oleh kebijakan yang menjanjikan nikah massal gratis macam rezim Ridwan Kamil, atau yang baru gress macam si ganteng Sandiaga Uno. Bertemunya pasangan-pasangan baru di KKN (dengan plot mirip FTV) turut menyukseskan tidak tergantinya mereka dalam nominasi ‘kepala daerah gaul’.
Mengikuti perkembangan zaman, ada-ada saja cara KKN untuk unjuk diri. Pun kegiatan sosial ini harus dipublikasikan secara luas agar dunia tahu bahwa kampus tak hanya mementingkan teori mbelgedhes, melainkan juga turut mendukung soft skills anak didiknya. Cara ini ditempuh dengan kewajiban posting di dunia maya terhadap berbagai kegiatan yang sifatnya sangat artifisial.
Para kampus beken sering pula mewajibkan setiap kelompok KKN membuat video kompilasi dan diunggah ke Youtube. Tentu dengan kata kunci tertentu dalam konten video, nama universitas melambung secara tiba-tiba berkat kerja relawan gratisan pembuat konten kreatif. Mahasiswa yang disuruh memikirkan program, mahasiswa yang disuruh merekam gambar dan menghabiskan kuota super mahal untuk upload, eh lha kok kampusnya yang dapat reputasi webometric baik hehe.
Jika dalih peningkatan kualitas dan martabat adalah senjata akhir yang dikeluarkan kampus kece ini, ada baiknya kita hanya perlu mengamini. Semoga semakin meningkatnya webometrics dan ranking Qs berbanding lurus dengan bertambah kencangnya wifi kampus dan berkurangnya intensitas dosen terlambat mengajar.
Mengintip lebih jauh, kegiatan sosial ini kini berubah hanya mendapuk image. Dilaksanakan dari tahun ke tahun, sensitivitas emosional dan kepedulian sosial yang berusaha dibangun itu sudah pupus sejak tiang listrik berdiri. Proyek sosial hanya berupa variasi pembelajaran, kewajiban institusi, dan rutinitas belaka. Pun fokus motivasi mahasiswa ber-KKN adalah demi tuntasnya kewajiban. Segera, semuanya akan terlupakan dari benak para akademisi ini (gatau lagi kalau soal bayangan mantan).
Adapun fenomena reunian kelompok KKN yang sering dicap sebagai ‘kangen KKN’ menjadi identifikasi persoalan yang salah. Rindu barangkali hanya pada teman-temannya, bukan susahnya membuat proposal dan perizinan. Rindu hanya pada personal orang-orang desa yang ramah menyambut, bukan sakitnya menghadapi resistensi warga atas kedatangan orang-orang asing dengan dandanan menor (pakai jas almamater).
Selain proyek sosial ekstrim macam KKN—yang memakan banyak uang—berbagai kampus sebagai tempat beranak pinaknya agen perubahan kemudian mulai keranjingan menggarap kegiatan serupa. Muncullah KKN-KKN junior, proyek sosial dalam bentuk lebih sederhana. Tujuan mengembangkan kepekaan sosial lagi-lagi tertera pada proposal dan berbagai indikator ndakik terpampang sok diplomatis.
Para elite kampus kemudian memasang kacamata kuda, tidak ingin terlampau banyak dikuliti pada sesi evaluasi. Program berjalan dan goal dipaksa tercapai. Padahal, ada begitu banyak pihak yang terpapar dampak atas kepura-puraan ini. Pertama, mahasiswa sebagai korban representasi kampus yang sok peduli pada masyarakat. Kedua, pihak sasaran program proyek sosial yaitu masyarakat.
Dalam prakteknya, tentu saja masyarakat yang disasar dilabeli dengan nama ‘kurang beruntung’ atau ‘mereka yang membutuhkan’. Masyarakat desa dengan pekerjaan utama bertani, beternak, nelayan serta-merta dikategorikan masyarakat kelas sosial-ekonomi rendah. Masyarakat ini kemudian dianggap perlu dimodernisasi karena kehidupan yang terisolasi dalam kondisi geografis jauh dari pusat pemerintahan. Pemikiran semacam inilah yang salah kaprah, definisi modernisasi yang tentu dipaksakan.
Akibatnya, program yang dirancang diatur sesuai dengan tema yang mendukung kepentingan kampus, apalagi harus dipublikasikan secara online agar seakan telah mengabdi. Padahal program yang digelar belum tentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pun penetapan masyarakat desa sebagai ‘yang perlu dikucuri bantuan’ adalah pemikiran secupet benjolan bakpao.
Masyarakat yang disasar diekspos dalam media online semakin mendukung eksploitasi kemiskinan. Justru bukti foto atau video dengan judul ‘Social Project’ yang menampilkan pelaku (mahasiswa) dan sasaran masyarakat yang dianggap ‘terbelakang’ ini semakin menunjukkan adanya gap di antara kedua aktor.
Padahal, sejak kapan masyarakat desa adalah mereka yang terbelakang dan perlu dibantu? Sejak kapan konsep ini muncul dan dijadikan doktrin mengakar pada para ilmuwan kita? Masyarakat tidak dilihat sebagai fenomena penelitian, melainkan suatu objek yang harus diubah.
Kesalahan turun-temurun ini sayangnya sudah terlanjur jadi budaya dan demam akut. Tiada celah bagi kita untuk makar dari proyek sosial sok-sokan ini. Satu-satunya cara adalah terus berdoa semoga kita tetap waras di tengah kegendhengan style pendidikan negeri ini.
Penggunaan kata-kata yang disajikan author sangat ringan sehingga pembaca mudah memahami dan antusian membaca tulisan author, dan cara pandang author terhadap KKN sungguh menarik, karena author memiliki sudut pandang yang berbeda yang mana biasanya KKN adalah moment yang ditunggu sebagian besar Mahasiswa karena terhipnotis dengan cerita -cerita kebanyakan tentang KKN yang dianggap sebagai moment untuk mengekspresikan diri dari segala kejenuhan yang ditimbulkan oleh aktivitas kuliah tetapi author bisa mengungkapkan curahan hati sebagian mahasiswa yang mungkin tidak pernah disampaikan secara terbuka kepada pihak-pihak terkait KKN ini. Saya berharap author bisa semakin banyak menemukan hal-hal menarik terkait aktifitas perkuliahan yang mainstrem namum bisa diangkat dari sudut pandang yang berbeda.
Terima kasih sudah membaca 🙂 terus pantau dan ikutlah menulis!