
*oleh: Safara Akmaliah
Halo! Tulisan ini adalah hasil dari kebingunganku, bangun pagi harus melakukan apa di tengah waktu libur kuliah yang sangat panjang. Satu setengah bulan lamanya, dan aku mengingat kejadian sepekan lalu, ketika aku diajak bapak untuk ikut dalam pelantikan Anshor di daerahku, yang kurasa perlu untuk diceritakan disini, “ini katanya acaranya jam 8, sekarang sudah setengah 9, ayo coba lewat kesana nduk, udah mulai belum ya… soalnya panggungnya sudah ada” bapak menunjuk jalan menuju tempat pelantikan, karena kebetulan aku yang memegang kemudi. Kita mengintari kawasan pelantikan, dan menakjubkannya hanya ada teknisi sedang melakukan check sound, “oh belum mulai, ya sudah kita pulang dulu saja” kata bapak.
Sepanjang perjalanan aku berfikir keras sampai melebihi kata keras itu sendiri, bagaimana bisa, setiap kegiatan bergenre NU yang kuhadiri hampir semua mengalami hal yang sama: tidak tepat waktu. Semoga ini belum menjadi kebiasaan yang membudaya. Aku orang NU, NU biologis malah. Ijo kaet cilik. Aku mengakuinya dengan bangga bahwa NU adalah ormas terbesar di Indonesia, jumlah jamaahnya puluhan juta orang. Amaliyahnya yang mix dengan budaya nusantara selalu menjadi daya tarik tersendiri buatku, meski aku pribadi bukan orang dengan basic pesantren, apalagi berani mendaku diri sebagai seseorang yang nasionalis, entahlah, ndak kiri tapi juga ndak kanan, mboh wah, pokoknya aku sangat mengagumi orang-orang ‘jebolan’ pondok pesantren NU. Khususnya salamku pada Gus Fayyadl.
Mereka fleksibel, open minded dan paham betul dalam menganalisis kondisi Islam Indonesia yang saat ini sedang carut marutnya. Disamping itu aku sangat mengagumi para santri karena jasa mereka dalam proses kemerdekaan Indonesia amat besar. Kuakui memang, jasa NU sangatlah besar dan tidak bisa dibandingkan dengan ormas lain. Tapi disamping keunggulan-keunggulan yang sudah kusebutkan tadi, NU juga memiliki kekurangan hingga berada pada tataran pemudanya, aku mengalaminya langsung karena aku masuk dalam salahasatu organisasi kepemudaan NU.
Yang sangat kusayangkan adalah perilaku warga NU yang sering ngaret. Bahkan aku berani secara ekstrem mengambil kesimpulan jika, ‘semakin tinggi jabatanmu maka kamu harus semakin terlambat bergerak’. Unique. Mengapa aku berkata sedemikian? Karena pada momen-momen tertentu, entah dalam acara pengajian, atau acara-acara lain, kyai selalu datang terlambat (ketika acara sudah berlangsung), lalu di sumanggakno oleh para hadirin sehingga menjadi pusat perhatian kemudian dicarikan tempat duduk yang kosong dan depan sendiri. Atau tidak usah kyai, petinggi atau sekedar memiliki jabatan saja di NU pasti akan mendapat perlakuan yang kurang lebih sama. Betul atau tidak? Atau aku yang terlalu menggeneralisasi?
Persoalan tentang meghargai waktu dengan benar ini juga terjadi dalam organisasi kepemudaan NU yang molornya bisa sampai 3-4 jam dari waktu yang sudah di tentukan. Sayang sekali, padahal mereka semua adalah insan intelektual berkualitas tinggi yang disiapkan untuk memimpin bangsa pada nantinya. pemimpinbukanwakil
Kemudian tentang administrasi. Di daerah yang kutinggali, banyak gedung-gedung milik Muhammadiyah, mulai dari bidang pendidikan yang dasar hingga perguruan tinggi, Rumah Sakit serta layanan sosial lainnya. Sedangkan NU? Kalau di daerahku sih lembaga-lembaga NU cenderung terlambat, padahal masyarakat di sini mayoritas NU. Lalu aku mencoba mencari titik permasalahan dengan melihat sekolah-sekolah yang berhaluan NU di daerah lain, seperti berbagai macam pondok pesantren yang ada di Jombang, Kediri, Mojokerto, yang ternyata adalah milik pribadi dari sang kyai, bukan milik NU.
Berbeda dengan Muhammadiyah yang memang berniat untuk nggedekno Muhammadiyah, mungkin semangat mereka terbakar oleh perkataan Mbah Dahlan yang pernah bilang, “jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah, tapi hidupilah Muhammadiyah”, kemudian salahsatu perwujudannya adalah dengan membangun fasilitas-fasilitas kemasyarakatan yang beratasnamakan Muhammadiyah, sehingga nama Muhammadiyah dikenang dalam masyarakat banyak. Tapi NU, yang terkenang adalah pemilik lembaga atau yayasannya, bukan NU-nya.
Cukup itu dulu hal-hal yang menjadi kegelisahanku. Walau kritikku barangkali kurang substansial, tapi beginilah, aku mencintai NU dari sesuatu-sesuatunya yang sederhana. Aku tidak berani terlalu larut dalam kekecewaan. Sebab yang berlebihan tidak baik. Aku menulis artikel ini tentunya untuk kebaikan NU kedepan, karena aku juga sudah nyemplung di dalam banom NU, marilah kita membenahinya bersama-sama, seperti kalimat yang ada dalam mars NU, “al muhafadhotu ‘ala qadimi al shalih wa al akhdzu bi al jadid al ashlah”, menjaga tradisi-tradisi lama sembari menyesuaikan dengan tradisi-tradisi modern yang lebih baik.
Wallahul muwaffiq ila aqwamit tharieq assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
*Safara Akmaliah, sering menyebut dirinya sebagai anugrah reformasi karena lahir pada tanggal 16 mei 1998. Tidak kiri juga tidak kanan. hobi beli baju baru dan datang ke diskonan.
Top
Mantap jiwaaaa