
*Ilustrasi: Abduh Rafif Taufani (@yth.rafif)
Sebagai pembukaan, penulis akan menggambarkan satu kisah soal pembunuh—atau pahlawan versi penguasa, yang sempat membuat geger publik di tahun 2012 lalu. Dalam dokumenter kontroversial The Act of Killing, Anwar Congo diceritakan memimpin pembantaian pada para anggota dan yang diduga terlibat dalam Partai Komunis Indonesia. Singkat cerita, ia dengan bangganya mengakui pembunuhan itu dan rela memperagakan kronologisnya—keseluruhan film berkutat pada dirinya.
Beberapa tahun setelah film dirilis, seorang wartawan Al-Jazeera mendatanginya dan mempertemukannya dengan sutradara Joshua Oppenheimer via Skype. Terjadi dialog antar keduanya hingga akhirnya Anwar mengungkapkan bahwa bagaimanapun, film itu telah menempatkannya dalam posisi sulit. Sosok sadisnya di masa lampau telah merasuk ke dalam persepsi banyak masyarakat. Meski ia sudah menyesali perbuatannya melalui pernyataan di film, namun toh pada akhirnya masyarakat telah benar-benar mengutuk perilaku kejinya itu.
Anwar Congo tak punya pertolongan apapun, saat menyadari sutradara dan para krunya ialah warga negara asing. Mereka aman di luar sana, meninggalkan sang tokoh film yang dihakimi tanpa ampun oleh berbagai media.
Tak jauh berbeda dengan berbagai konten amatir yang lantas viral, disukai netijen karena bisa panen meme membangun kesadaran, atau hanya sebagai bahan guyonan. Terkadang konten itu berisi peringatan yang berisi foto pelaku pelecehan seksual, sejoli yang ketahuan mengadu kasih (entah apapun bentuknya), sampai ihwal paling iseng sekalipun.
Dalam situasi ini, maka ‘digebuki massa’ adalah peristiwa yang mutlak dan tak ada satupun aparat mampu mencegahnya. Ada yang ikut-ikutan menghujat, mengutuk, bahkan sampai menggunakan ayat tertentu; ada pula yang bijak menanggapi. Padahal, belum tentu unggahan itu akan diketahui oleh pelaku—atau siapapun yang mampang disana, atau siapapun orang terdekat mereka. Bisa jadi, tujuan dari konten itu melenceng sedari awal: dari menyadarkan menjadi menghakimi pihak bersangkutan.
Jika sudah seperti itu, bukankah ia termasuk penyerangan kesan secara ghoib dan naif?
Seorang pelaku dengan kekhilafan tertentu mungkin saja sudah menyadari kesalahannya saat itu. Namun melalui unggahan—yang telah disebar ribuan kali—boleh jadi kasusnya tidak berhenti di sana. Ia makin menimbulkan umpatan dan olok-olok dari para netijen yang umumnya tak suka membaca dengan baik. Kesan negatif yang massif berhasil dibangun hanya oleh satu perkara yang juga tidak berbuntut solusi bagi pelaku. (Lalu mereka masih membicarakan keadilan?)
Kasus pertama masih bisa dimaklumi bila pelaku memang terbukti merugikan, itu pun harus diuji dengan beragam perspektif. Tetapi, apakah berpacaran di bangku taman layaknya adegan drama Korea adalah tindakan yang imoril, sehingga musti dihakimi via online? Apakah ada indikator yang menyatakan suatu tindakan disebut asusila?
Pun bila memang keduanya terbukti, sependek itukah garis nafsu kita untuk sampai melarang hak orang lain?
Ini bukan soal pembelaan pada kekhilafan orang-orang. Hanya saja, akal sehat kita nampaknya perlu dirawat agar tak ikut-ikutan menghujat orang lain. Tentu, mengingatkan secara langsung terlihat lebih bijaksana ketimbang membuat kesan mereka hancur di tangan netijen.
Selain menghujat, selera humor masyarakat kita juga butuh rehabilitasi. Beragam foto maupun video yang bertebaran di internet sering memanfaatkan kekonyolan dan ketidaktahuan seseorang. Saking kreatifnya, para netijen dengan sigap akan menghasilkannya sebagai sebuah meme. Ini merupakan satu upaya untuk menyelamatkan iklim internet yang demokratis, namun di sisi lain berpotensi membumihanguskan citra seseorang.
Sebagai penutup, penulis ingin sok bijaksana dengan memberi ajakan: mari kita menutup tahun ini beserta segala kependekan akal sehat dalam berpendapat; namun jangan berhenti berpendapat.
Nyinyir boleh, goblok jangan.