
*Ilustrasi: Abduh Rafif Taufani (@yth.rafif)
Tak bisa dibantah, sampai digit terakhir hitungan tahun bertambah, masih ada saja milisi netijen yang doyan memakan informasi simpang siur—dan menyebarkannya. Informasi yang lumrah disebut hoax itu memiliki banyak penggemar, tidak peduli remaja usia tanggung atau ayah ibu kita yang kerap kewalahan dalam bersikap di dunia siber. Sebagai pengguna media yang apa adanya, kapasitas untuk mengoreksi keabsahan berita belum diasah dengan baik—jadilah klik share sana-sini. Celah inilah yang lantas diperdayakan untuk menyemai bibit-bibit kebencian; atau bisa jadi “membangun” menurut Djoko Setiadi.
Segera setelah dilantik sebagai Ketua Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Djoko langsung memberi pernyataan heboh soal hoax. Ia tak mempermasalahkan adanya kabar bohong, selama itu bersifat positif dan membangun. Malah, Djoko memberi ajakan bagi putra-putri bangsa agar, “…mari sebenarnya kalau hoax itu hoax membangun ya silahkan saja. Tapi jangan terlalu memprotes lah, menjelek-jelekkan lah, ujaran-ujaran yang tidak pantas disampaikan, saya rasa pelan-pelan dikurangi”.
Sontak kebingungan pun mendera umat sosial media, bikin mereka mikir kalimat itu berulang-ulang sambil ngempet ngguyu. Keesokan harinya tagar #HoaxMembangun melesat jadi trending topic nomor satu di Indonesia, yang merupakan pencapaian pertama netijen di 2018. Met yha!
Ada cuitan yang memasang sikap serius, serta ada lebih banyak guyonan receh yang diunggah. Masing-masing menertawakan kalimat-kalimat jitu yang sudah dianggap basi dan klise, sehingga menganggapnya “palsu” atau setara dengan hoax adalah selemah-lemahnya upaya untuk menghindar. Asumsi ini didasarkan pada kolektivitas kepemilikan perasaan bila tiba-tiba pasangan kita mulai ngomong, “kamu terlalu baik buat aku.”
Tingkat kejujuran dalam kalimat yang disampaikan nampak benar-benar ditelanjangi melalui beragam cuitan ini. Bagaimana tidak, masihkah para pembaca budiman percaya dengan terma “terlalu baik”, “kita cuma temen kok”, atau “sunat itu kayak digigit semut, kok”? Atau soal visi next year will be our year dari suporter salah satu klub sepakbola Inggris, yang susah dipercayai? Bagaimana pula dengan janji manis bapak yang suka nongol di televisi? (mbuh bapak sing endi)
Barangkali, fenomena ini bisa menjadi antitesis atas berbagai sosial media yang kerap kali kebanjiran hoaxapalagi di grup WA keluarga. Bahwasanya informasi palsu beserta kurangnya usaha verifikasi kebenaran sudah mendarah daging, sehingga masyarakat selalu kesusahan dalam mencari jalan keluar. Daripada selalu terjebak dalam lingkaran kepalsuan itu, akhirnya dengan segenap niat lahirbatin, masyarakat memilih untuk menertawakannya saja.
Bahwasanya kebohongan dan konspirasi selalu ditanamkan pada tiap inci otak melalui berbagai pamali yang seringkali kosong, hanya demi melindungi rasa takut anak-anak mereka. Disalahkanlah semut, atas gigitannya yang kurang lebih subjektif, padahal bius obat tidak melulu berdampak efektif pada tiap anak. Larangan makan atau sekedar duduk di depan pintu juga mujarab dari waktu ke waktu demi menyelamatkan diri atas absennya jodoh di hari tua. Mereka menuturkan, menularkan pada anak cucunya hal-hal yang belum pasti benar—antara mitos dan hoax memang beda tipis.
Di saat yang sama, mereka percaya Tuhan dengan segala kekuasaanNya yang tak terbantahkan.
Akhirnya, masyarakat tidak perlu kuatir jika suatu saat benih-benih pamali itu akan tumbuh menjadi ketidakjujuran, simpang-siur, dan kepalsuan. Alih-alih menjadikannya sebuah kesalahan, eksistensi hoax lama-lama akan dipahami sebagai suatu kenyataan. Benar bahwa hoax bisa digunakan untuk “membangun” kritik—atau apapun, namun jangan takut apabila ia kembali kepada kita di masa mendatang dalam keadaan fakta dan sejarah. Lantas, dengan informasi macam itu, kita membangun segala realitas yang ada?
Maka, hoax pun menjelma sebagai fundamen bangunan ‘kehidupan’ yang hanya akan menghasilkan hoax-hoax lain—terus mengular tanpa akhir.
Oh, iya, bahwasanya #HoaxMembangun memang sudah diwariskan negara ini sejak lama sekali, sehingga para warga yang mati sebagai korban sejarah, aktivis yang hilang, kampung yang berubah bandara, dan sekian catatan hitam lain merupakan fenomena yang saaaangat wajar. Wallahu’alam.