
Oleh: Jesslyn Giovanni*
Pembaca, betapa mengejutkan sekali berita utama surat kabar langganan saya hari ini. Rasa-rasanya tidak ada tragedi yang lebih menyedihkan dari judul berita ini. Tajuk utamanya menyedihkan, seorang ibu asal Jombang, Evi Suliastin Agustin (26) mengajak ketiga buah hatinya menenggak racun serangga di kamar mandi rumahnya. Sang ibu selamat. Tragis. Tiga anaknya meninggal dunia. Innalillahi.
Muasalnya adalah depresi berat Evi, yang ditinggal Fakihhudin (55), suaminya, menikah lagi dengan gadis asal Nganjuk. Rumah tangga keduanya juga beberapa tahun belakangan tidak lagi harmonis.
Penjabaran singkat diatas soal berita percobaan bunuh diri ini kemudian membuka mata saya pada beberapa poin realita yang menurut saya perlu menjadi pembelajaran dan bahan pikir pembaca kalikata yang budiman.
Pertama, soal stres. Menurut Nasir dan Muhith, dalam Litiloly dan Swastiningsih (2014), stres adalah kondisi yang tidak menyenangkan di mana manusia melihat adanya tuntutan dalam suatu situasi sebagai beban atau diluar batasan kemampuan individu untuk memenuhi tuntutan tersebut. Dalam hal ini, jelas bahwa Evi sebagai istri tidak dapat memenuhi apa yang seharusnya dia dapatkan sebagai istri. Keberadaan suami yang tidak di sampingnya, juga nafkah lahir batin yang tidak diterimanya.
Ada perasaan dilematis ketika membaca berita ini. Di satu sisi, saya menyayangkan usaha bunuh diri Evi yang menewaskan bukan dirinya tapi ketiga anaknya. Saya pikir kasih ibu sepanjang masa, toh nyatanya hanya sebuah pepatah. Mengapa sampai hati hingga membunuh ketiga anaknya? Kenapa tidak bunuh diri saja sendiri? Atau kenapa (jika memang sudah siap untuk bunuh-bunuhan dengan segala konsekuesinya) tidak bunuh saja suaminya, jika memang Evi tidak terima dengan keputusan sepihak suaminya untuk menikah lagi?
Pemikiran-pemikiran ini muncul, didasari rasa kecewa yang begitu besar pada tindakan Evi, sebagai sesama perempuan dalam konteks dirinya sebagai ibu dan istri.
Di sisi yang lain, saya berusaha tetap bersimpati dengan Evi dan mencoba berandai-andai jika saya adalah dirinya. Rumah tangga yang begitu ruwet dengan suami yang (ini sangat subjektif, tapi sepertinya begitu jika menilai dari tanggapan suami yang acuh ketika dikabari bahwa si istri sedang dilarikan ke rumah sakit) tidak patut dicontoh suami-suami di Indonesia Raya ini. Apalagi harus membesarkan tiga anak yang masih kecil-kecil dan pasti sangat rewel di rumah. Belum lagi beban sosial karena pasti menjadi pergunjingan tetangga (dan ini beratnya menjadi perempuan. Perempuan lebih sering dipergunjingkan yang tidak-tidak). Faktor-faktor ini seandainya terjadi pada kehidupan rumah tangga saya, dapat saya bayangkan dan pahami betapa beratnya.
Mereka yang mengatakan seharusnya Evi banyak berdoa atau istighfar, menurut saya tidak akan banyak membantu (semoga pembaca tidak termasuk golongan ini). Tidak semua orang mampu dan tegar menghadapi cobaan hidup, seringan atau seberat apapun jika diukur dengan ukuran orang lain. Mereka yang menghadapinya-lah yang paling tahu. Kita yang tidak mengalami langsung hanya bisa menonton dan mencoba memahami. Menilai bukan tugas kita, apalagi menghakimi.
Maka, faktor stres ini tidak bisa dianggap remeh. Evi tertekan, tanpa ditopang atau bersandar pada siapapun. Tidak ada orang yang berhak menghakiminya. Ia pasti berduka dan menyesal karena kehilangan ketiga buah hatinya.
Kedua, kesiapan dan kehidupan perkawinan. Mahasiswa-mahasiswi sering menjadikan pernikahan sebagai jawaban ketika sudah buntu mengerjakan tugas esai 3000 kata atau mendekati musim-musim ujian semester. Walaupun dalam nada bercanda. Tetapi dalam pikiran bawah sadarnya, guyonan itu seakan mengasosiasikan menikah dengan terselesaikannya segala urusan akademik yang terasa membebani.
Mungkin karena konsep pernikahan atau perkawinan atau kehidupan suami-istri berarti happily ever after. Berarti bisa ena-ena. Berarti bisa bersama selalu dengan pasangan yang kita cinta dan masalah apa saja tidak akan begitu berarti karena ada pasangan yang bisa diajak untuk menghadapinya bersama. Saya tidak menghakimi (sekali lagi). Ini memang dialami hampir sebagian besar mahasiswa (diakui atau tidak). Konsumsi media kita mengarahkan pada konsep itu.
Tapi toh nyatanya soalnya tidak sederhana. Bisa jadi, usia Evi yang 26 tahun masih begitu belia menjadi salah satu faktor penyumbang tragedi ini. Almarhum anak sulungnya berusia 6 tahun. Berarti ia menikah (walaupun siri) dengan Pak Fakihhudin kira-kira di usia 20 tahun.
Saat ini saya berusia 20 tahun dan bahkan saya tidak berpikiran untuk menikah.
Saya yakin Evi tidak atau belum siap untuk menjadi ibu dan istri di usia 20 tahun. Sari dan Sunarti (2013) mengatakan, usia ideal untuk menikah bagi laki-laki dan perempuan berkisar di usia 23-25 tahun. Di usia itu, aspek-aspek selain biologis seperti emosi, finansial, dan sosial dirasa sudah matang.
Evi mengambil keputusan yang besar dalam hidupnya untuk menikah muda. Saya pribadi tidak mengatakan bahwa keputusannya salah. Hanya saja, mari teman-teman pembaca yang belum menikah, mengambil hikmahnya dari kejadian Evi ini. Intinya, menikah tidak sesederhana itu. Menikahlah ketika siap, lahir batin… bukan karena ingin, atau bahkan terpaksa.
Terakhir, poligami. Saya mengerti bahwa beberapa ajaran agama memperbolehkan poligami. Khususnya Islam. Tapi toh itu tidak menghalalkan cara-cara tidak bertanggungjawab semacam ini. Laki-laki yang berlindung dibalik dalih poligami kan ‘tidak dilarang agama’ dan ‘selama bisa adil’ perlu dipertanyakan lagi niatannya berpoligami. Apakah karena nafsu semata? Atau karena tulus cinta? Jika boleh jujur secara subjektif, saya tidak setuju dengan konsep poligami. Dalih ‘selama bisa adil’ menurut saya hanya sebuah dalih yang tidak bisa dipegang dengan indikator apapun kesesuaiannya. Dalih ‘tidak dilarang agama’ juga tidak berarti memperbolehkan seseorang dengan mudahnya berpoligami. Ada baiknya berpikir rasional, dengan akal dan bukan dengan nafsu semata.
Hal ini mungkin berkaitan erat dengan masih kentalnya supremasi laki-laki yang tidak akan terlalu digunjingkan jika macam-macam sehingga merasa bisa berbuat apa saja atau mungkin perasaan inferioritas perempuan yang seakan tidak berdaya dan merasa menjadi korban. Mungkin.
Akhirnya, mari berkaca dan belajar pada kasus ini. Perempuan saya harap lebih konservatif menentukan kapan kesiapan lahir batinnya untuk menikah. Laki-laki saya harap dapat bertanggungjawab pada pilihan ketika meminang pasangan. Untuk siapa saja, berempatilah dengan siapa saja. Seringkali stres menjadi depresi karena tidak mendapat tempat meluapkan perasaan.
*Penulis adalah mahasiswi Universitas Airlangga. Berkonsentrasi pada banyak isu sosial, terutama keperempuanan dan gender.