
Oleh: Muhajir Dono Husodo*
Manusia memang tempatnya salah serta lupa.
Sepotong kalimat di atas jadi dalil kala nyangkruk di warkop dan mbok kalau sudah habis gorengan empat biji tapi mengaku cuma tiga. Namun, dalil itu ternyata tidak selalu tepat guna jika diterapkan pada kasus dan situasi berbeda. Terutama relationship cowok dan cewek. Di mata cowok, cewek selalu salah. E-eh! Kebalik yach?
Manusia juga sepertinya dibuat amnesia massal jika dikaitkan dengan banyaknya misteri purbakala berbagai situs dunia. Semisal, peninggalan Machu Picchu dari suku Inca, Nasca Line yang juga di Peru Selatan, reruntuhan candi Pumapunku di Bolivia dan banyak lagi. Berbagai teori mencoba menjawab misteri-misteri tersebut. Mulai dari campur tangan alien, serangan epidemik yang memusnahkan masyarakat dengan singkat, mesin waktu, dan sebagainya.
Namun saya secara personal lebih ngeh dengan teori amnesia massal. Pasalnya, teori ini lebih familiar dan representatif merakyat. Setuju tidak? Sebagai masyarakat Indonesia yang pelupa, setuju sajalah!
Berikut adalah beberapa bukti dari wabah penyakit itu.
Aksara Hanacaraka
Dengan kondisi saat ini, tanpa ada upaya yang sungguh dari pemerintah untuk melestarikannya, entah sampai kapan kita akan mengingat bahwa kita punya aksara baca tulis sendiri. Oke lah, ini memang bisa dikatakan jawasentris, berpotensi memecah belah persatuan bangsa.
Namun, di sisi lain, banyak negara luar yang mampu mengelola kearifan bahasa lokal mereka. Ambil contoh Jepang atau Cina. Aksara Kanji, Katakana, ataupun Hiragana, sangat eksis di banyak tempat dan situasi. Huruf-huruf tersebut bahkan sangat populer di negara kita. Sudah terdengar konyol?
Krisis Kepemimpinan
Setiap kali kita mengeluh akan lambannya penyelesaian masalah negara, mengumpat akan bobroknya sistem, merasa putus asa karena negara-negara tetangga sudah begitu maju dan kita terus saja jalan di tempat, ending-nya kita akan menyalahkan pemimpin: menggoblok-goblokkan wakil pilihan kita di parlemen. Namun anehnya, setiap kali ada peluang untuk memperbaiki situasi, kita selalu lupa, lupa dan lupa.
“Coblos ini ya!”
“Nggak mau!”
“Ini cepek buat kamu.”
“Siappp!”
Janji Manis Politisi
Daftarnya harus banget ditulis, ya?
Persatuan Itu Penting
Hampir dua dekade lalu, kita pernah kecolongan. Timor Timur lepas dari pelukan kita. Kita menyesalinya, namun sayang, kembali lupa bahwa persatuan amatlah penting. Kesadaran untuk membina hidup rukun lewat toleransi antarumat beragama, antarsuku, ras dan sebagainya tidak benar-benar kita jaga.
Buktinya, kita sampai sekarang begitu gemar bertikai. Lihat saja prototype kita, para netizen yang tiada hari tanpa berantem. Soal politik, bertikai. Soal artis cerai, saling olok. Soal agama, kafir-mengkafirkan. Sesama agama bid’ah-mem-bid’ah-kan. Soal sepak bola, saling bully. Satu hal yang bisa menjadikan netizen rukun dan bersatu kok ya cuma soal link video porno. Hemmm… begitu membanggakan!
Kak Seto, tolong ini anak-anak, disleding aja kepalanya satu-satu!
Jessica dan Kopi Sianida
Sampai sekarang saya sebetulnya masih geli. Betapa konyolnya kita dua tahun yang lalu, saat menonton live di televisi sidang cucu dari Presiden RI keempat yakni Wayan Mirna Salihin yang dibunuh secara terencana oleh sahabatnya, Jessica Kumala Wongso, yang ternyata anak dari salah satu Hakim Ketua Mahkama Konstitusi, dengan saksi kunci Agus putra sulung Bapak SBY yang mengantarkan es kopi Vietnam di meja nomer 54.
Sebentar. Ada yang salah sepertinya.
Betul sekali sodara-sodara, ada yang salah dari fakta di atas. Tapi yang paling salah sebenarnya kita sendiri. Bisa-bisanya kasus sederhana semacam itu bisa menjadi isu nasional, yang sidangnya disiarkan secara live dan bertahan menjadi topik panas selama berbulan-bulan. Belum lagi jadi tema obrolan ibu-ibu, bapak-bapak, di mana saja.
Kok bisa, ya? Padahal di luar sana, kasus yang lebih layak diikuti banyak. Lain hal misalnya Jessica itu mantu Presiden Jokowi dan Mirna adalah anaknya Pak Prabowo Subiyanto. Atau terungkap bahwa Jessica ternyata dulunya seorang Muslim taat yang kemudian lepas hijab dan berpindah “tuhan”. Masyarakat geger dan antusias mengikuti jalannya sidang wajar. Nobar di televisi pun saya siap kalau ini mah!
Menariknya, seperti suara musik yang terlampau gaduh dan berisik, bersumber dari sound system yang kemudian dimatikan tombol powernya, kasus itu pun tiba-tiba saja senyap. Suasana kembali hening dan lengang. Tidak ada lagi yang tetap peduli menyimak kelanjutan persidangan dan hasil akhirnya. Mirna berhasil hidup kembali pun, semuanya sudah tidak peduli.
Akhirnya
Pola semacam ini terus berulang. Ibarat siklus, heboh se-Indonesia, meledak dan tenar di mana-mana, lantas senyap seketika.
Masih ingat betapa kita tergila-gila dengan fenomena batu akik yang demamnya bertahan berbulan-bulan lalu mereda? Masihkah kita ingat fenomena lipsync ‘Chayya Chayya’ Norman Kamaru yang hebohnya seantero Nusantara? Jangan ditanya. Sudah tentu lupa. Belum lagi fenomena ‘Om Telolet Om’, humor Mukidi, dan seterusnya, dan seterusnya.
Apa seperti demikian salah?
Sebenarnya bukan masalah benar dan salah, saya hanya ingin menegaskan betapa pelupanya kita.
Oh, iya, terkhusus untuk Mbak Marion Jola, jangan khawatir, Mbak! Kita ini masyarakat pelupa kok. Tetap fokus saja pada tujuan, pada karir Mbak! Buatlah juri-juri Indonesian Idol yang sok nganu itu terpesona dengan suara desahan Mbak yang aduhai! Buatlah warga NTT bangga dengan prestasi Mbak!
Saya yakin video aksi Mbak yang katanya Daniel Mananta sudah dapat 16 juta viewers di YouTube itu akan semakin banyak yang melihat. Video aksi ‘Jaran Goyang’ Nella Kharisma saja bisa tembus 125 juta viewers kok. Apalagi goyang beneran.
Oh iya, Mbak Lala, sekedar usul saja. Mohon dipertimbangkan usulan Bunda Maia Estianti untuk mengganti nama “Jola” dengan panggilan “Lala”! Biar enak aja nyingkatnya.
Semoga jadi Indonesian Idol tahun ini, Mbak Lala! Saya di belakangmu!
Gresik, 22 Januari 2018
*Penulis adalah guru swasta di kampungnya, manusia yang percaya keajaiban. Bisa disapa melalui Facebook Muhajir Dono Husodo, Twitter @MuhajirDeHa, WA 085770441441.