
Sambil dipanggul orang-orang sangar berbaret merah, Prabowo Subianto, kandidat presiden kita semua 2019 nanti, diarak bertelanjang dada dalam sebuah acara pendeklarasian calon presiden. Ia kepal-kepalkan tinjunya, diiringi lagu daerah berjudul Sajojo. Suasana ramai dan ingar-bingar, dan para simpatisan yang mengelilinginya larut dimabuk euphoria. Dalam video pendek yang viral inilah, kita bisa menangkap satu pesan yang amat pasti: bahwa Oom Prabowo memang macho bingits. Apa yang salah? Tak ada sama sekali yang keliru kok.
Segalanya memang amat maskulin. Pembaca musti tahu bahwa Sajojo adalah lagu daerah Papua yang bercerita tentang perempuan cantik dari desa yang sangat dipuja para lelaki di kampungnya. Apakah gerombolan pria tegap dipimpin kumendan Prabowo menyimbolkan laki-laki penakluk hati perempuan cantik itu, tak ada yang tahu. Kepal tinju Prabowo adalah pertanda bahwa siapapun akan diterabas demi memperjuangkan kembang desa itu, tak ada juga yang tahu. Tapi adegan ini soswit sekali bukan?
Sehari pasca video beredar, fungsionaris Gerindra menyamakan telanjang dada Prabowo dengan Vladimir Putin, yang ototnya masih menggumpal cukup baik di usianya yang sudah estewe. Yaa, meski perumpamaan Prabowo-Putin agak mbeleset, tapi paling tidak semangat keduanya dalam bertelanjang dada bolehlah disamakan. Tak perlu musti sama persis ototnya, melorot dikit-dikit dimaafkanlah. Tak apa-apa dan tak merugikan siapa-siapa. Siapa yang mau protes dibedil saja.
Tapi ini sungguh membuktikan, betapa maskulinitas belakangan menjadi tema penting dalam politik kita. Setelah Jokowi dengan musik metal dan motor gede Chopper (asli orisinal dan bukan bermesin Honda Astrea), kumendan Prabowo seolah membalasnya dengan sesuatu yang jauh lebih purba tapi bertaji dalam membuktikan maskulinitas—selain tumpangan kuda Portugalnya yang termasyur: kemacho-an dadanya.
Mungkin bagi beberapa pembaca adegan ini membuat masygul. Karena barangkali kita juga agak khawatir jika masing-masing mereka sedang membuktikan apa yang bukan dirinya. Memaksakan memakai sepatu yang bukan ukurannya. Tapi toh itu tidak bisa dilarang juga dan tidak dapat dituding pencitraan. Euforia copot klambi Prabowo mungkin sama belaka dengan yang Ronaldo lakukan usai merobek jala Juventus lewat penalti yang menyesakkan nafas itu. Semuanya dilarutkan oleh euphoria dan suasana yang demikian membius.
Kita disuguhkan duel mano a mano antara dua pria yang sedang membuktikan mana yang paling sejati. Ini bukan parodi koboi semacam film-film bergenre Western, tapi ini riil politik kita. Agak sulit memercayai bahwa kita tiba pada masa dimana macho adalah salah satu resep penting dalam pentas pemilu.
Tak apa-apa. Ini menguntungkan kita juga kan. Kita jadi punya perbendaharaan adegan betapa kayanya perpolitikan kita. Siapa yang bilang bahwa Indonesia membosankan? Calonnya itu-itu saja? Gaya kampanyenya monoton? Semua dapat dibantah mudah dengan memperhatikan dua tokoh kita yang mewakili dua kekuatan politik berseberangan. Demikian atraktif meski kadang demikian bising.
Ssssttt, siapa tahu sekarang Jokowi juga sedang sibuk menenggak rutin L-Men demi menambah massa ototnya. Dan siapa tahu juga kuda Portugal Prabowo sedang dimodif transplantasi mesin, demi mengungguli Chopper.