
Oleh: Anya Junor*
Jika saya harus memberi highlight pada awal 2018, saya ingin mengenang chaos konyol yang sempat beredar di Surabaya, Malang, dan Yogyakarta. Cerita itu ialah perihal kegelisahan masyarakat (baca: mahasiswa) oleh aksi dari seorang gadis mungil yang katanya ahli pelet gendam. Harusnya, para pembaca yang mengaku millenials paham betul kasus ini.
Sebagai generasi yang puber karena internet, sudah seharusnya millenials selalu update berita terkini. Sebagai generasi yang tumbuh besar bersama Facebook, idealnya, ada berbagai macam teman dari berbagai macam tempat dengan berbagai macam informasi. Sebagai generasi yang vitamin-nya adalah media sosial, tidak heran lagi kalau millennials mesti haus beropini; merespon segala desas-desus di dunia nyata maupun maya.
Gadis cilik ahli gendam itu bukan orang pertama yang viral di media sosial. Kalau kita lihat ke belakang, bahkan sejak bertahun-tahun yang lalu, media sosial sudah digdaya menguasai gaya hidup kita. Silakan mengingat kembali video polisi yang lihai joget ala penyanyi di sinetron India. Dalam sekilat goyang chaya-chaya, nama Norman Kamaru mendadak akrab di telinga kita. Seragamnya ada di berbagai stasiun televisi. Wajahnya selalu ada di timeline media sosial. Ini keajaiban. Keluarganya pasti sudah tumpengan tujuh hari tujuh malam.
Namun keadaannya sedikit berbeda bagi si gadis gendam, yang baru-baru ini diketahui berinisial AAP (12). Foto candid-nya beredar di berbagai grup WA. Wajahnya ada di galeri HP ribuan orang—dalam bentuk meme. Tak ada yang tahu namanya, tapi banyak yang sok-sokan mendeskripsikan bagaimana cara berbicaranya dan bagaimana taktiknya dalam menghipnotis orang. Ini keajaiban. Lingkungan AAP yang awalnya biasa-biasa saja, karena 4 jepretan sederhana dari orang tidak dikenal, langsung berubah jadi penuh tatapan hujat dan bisik-bisik curiga.
Millennials, sebagai generasi yang ‘kritis’ dan kadang sok pintar dalam menghadapi situasi, memutuskan untuk berperan sebagai netizen yang maha benar. Dan dengan maha benarnya itulah mereka membuat posting berjudul, “HATI-HATI! Anak ini bisa gendam!” Dan dengan maha benarnya pula, yang lainnya membagikan post tersebut ke grup FB, WA, dan LINE-nya masing-masing. “Hati-hati,” kata mereka. Tak lupa juga disertakan embel-embel ‘sudah banyak korban’.
Kekhawatiran merupakan faktor pendorong yang cukup besar bagi netizen untuk membagikan sebuah postingan. Ini bukan fakta yang baru ditemukan. Sejak dulu, kriminalitas memang memiliki news value yang cukup tinggi di dunia jurnalistik. Dan seperti yang kita ketahui, di mata media manapun, “BAD news means GOOD news.” Segala yang dapat atau telah mengguncang hidup masyarakat akan diberitakan dengan senang hati. Konten penting itu relatif, tapi konten menarik itu penting. Contohnya, anak SD menghipnotis puluhan orang dewasa—mencuri dompet hingga motor mereka. Hal sekonyol itu punya peluang besar untuk jadi viral. Masa bodoh dengan kredibilitas sumber berita. Dalam kerangka berpikir mereka, “Info yang dibagikan pasti akan membantu orang lain. Benar atau salah urusan belakangan, yang penting semua friends sudah waspada. Yang penting ketok kritis. Banyak like banyak rejeki.”
Millennials diberi mukjizat oleh Tuhan Yang Maha Esa berupa koneksi internet yang stabil serta akal sehat untuk digunakan. Ada baiknya bersikap kritis terhadap segala sesuatu. Menganalisa problematika yang dihadapi, menjadi solutif terhadap suatu isu, dan tidak hanya asal cuit di Twitter tentang yang negatif dari ini dan itu.
Tampaknya sebagian besar netizen masih lupa untuk menjadi skeptis sebelum jadi kritis. Benar atau tidak? Akal sehat diciptakan untuk meragukan kebenaran yang dipercaya hati. Terkadang, emosi dapat membutakan pikiran. Itulah sebabnya, netizen membagikan postingan terlebih dahulu, baru mempertanyakan sumbernya. Keburu ada korban lagi, ya kan?
Tidak terpikirkan bagi kita, pembaca (baca: calon korban), bahwa sebenarnya gadis cilik itulah yang menjadi korban pada fenomena ini. Tahu apa kita tentang kehidupan AAP? Ingin jadi apa ia ketika sudah dewasa? Apa kabar UASBN-nya? Atau, jika kita mundur lagi, sebenarnya anak itu sekolah atau tidak?
Jika anda millennials sejati, bukalah situs pencarian dan baca sendiri pengakuan dari Noviana (36), ibu dari AAP. Ketakutannya untuk bertatap muka dengan orang-orang di luar rumah disebabkan oleh kecerobohan kita, pengguna media sosial. Permasalahannya sederhana—kita hanya lupa menyertakan kata ‘diduga’. Judul alternatif yang seharusnya tersebar di berbagai platform adalah, “Gadis Cilik Diduga Bisa Gendam.”
Apa yang kita lakukan setelah menemukan sudut pandang baru? Seperti biasa, sebagai netizen yang maha benar, kita wajib untuk menghujat netizen lainnya yang menjunjung tinggi kebodohan—kaum yang menolak untuk melihat kasus ini dari atas. Kemudian, kita akan membuat petisi berisi larangan berinternet bagi orang berpemikiran dangkal. Mungkin juga, kita akan larut dalam rasa bersalah, tapi menyembunyikan kelemahan di komentar 140 kata dengan nada sinis dan marah-marah.
Dengan segala sok ke-mahabenaran yang dilindungi UU kebebasan berpendapat, saya jadi makin bingung. Kita seperti dikondisikan untuk menghipnotis satu sama lain Sebenarnya, yang ahli gendam itu siapa sih?
*Meski belum berminat mengikuti audisi Kilau DMD Show, penulis adalah mahasiswa multitalenta, penyair dan penyiar. Mengidolakan batagor.