
Nasib Lucinta Luna di pengadilan dunia maya oleh para netijen paling intimidatif sekaligus beringas, masih berlanjut juga. Ia dituduh transgender, dan netijen kita—seperti biasa—adalah tipikal spesies paling tekun dalam urusan mengumpulkan bukti. Kalau pembaca yang budiman mencari query google dengan kata kunci “Lucinta Luna transgender”, maka akan berhamburan judul-judul semacam: “Terungkap Fakta Baru, Lucinta Luna Jajakan Diri di Situs Transgender”, atau “6 Bukti Lucinta Luna Transgender”, atau lagi “9 Transformasi Lucinta Luna”, dan seterusnya kalau pembaca merelakan diri untuk menyia-nyiakan waktu dengan mencari berita-berita nggathuli itu.
Semakin Lucinta membantah setengah mati kabar itu, entah bagaimana semakin pula bertambah obsesi orang untuk membuktikan sebaliknya. Sedangkah ini gejala “kegatelan virtual”? Sedangkah ini pertanda Indonesia 2030 bubar?
Coba sodara-sodara pikirken dan renungken, mengapa kita punya energi sebesar itu untuk membuktikan sesuatu yang hampir-hampir tak punya hubungan sama sekali dengan kita. Praenmu iki sopo kok ya masih ngotot menyumpah-serapahi orang yang blas gak hapal dapuranmu? Sudah itu masih ditempeli bejibun nukilan kitab suci: kebiadaban transgender, operasi kelamin yang tak mensyukuri nikmat Tuhan, atau kutukan dan ancaman dosa bagi yang mengabaikan perintah agama. Antum musti tahu juga lho, ngurusi privasi dan rahasia atau aib orang itu dosa juga.
Memang diperlukan sebuah pemikiran serius dan riset yang detil, mengapa meruap sebuah dorongan hewani untuk terus menggunjing dan menyerang di dunia maya. Apakah ini sebuah gejala yang demikian khas secara virtual, atau ini menandakan sesuatu yang lain lagi yang lebih bersifat inheren, melekat dan tersembunyi dalam tiap-tiap individu. Atau ini adalah kecenderungan yang memang diidap oleh orang-orang Indonesia yang memang memiliki pengalaman terlalu minim dalam berurusan dengan media literacy? Atau pertanyaan yang monumental: apa ini ciri Indonesia bubar di 2030?
Kita harus memberi anjuran untuk diri sendiri, disimpan saja dalam hati, bahwa jika pada dunia nyata anda diikat oleh nilai-nilai yang anda imani, demikian pula di dunia virtual. Sekalipun sampeyan bisa menyaru menjadi siapa saja, termasuk dadi asu, itu tak membatalkan sama sekali bahwa anda adalah manungsa . Dan yang anda gunjing, hakimi, hina, dan tuduh, adalah manungsa juga.
Kadang-kadang penasaran juga, ini orang-orang apa sudah terlalu cerdas untuk mengerti dan sadar gender? Jangan-jangan urusan gender dan hak-hak gender referensinya cuma mentok di habibana Rizieq Shihab (bajigur, antum lama bangets minggatnya—ttd Firza), sehingga pandangan yang kabur diperparah dengan obsesi omong jorok dan maha benar.
Sudahlah sodara handai-taulan sekalian, urusan hidup kita ini masih banyak sekali. Anda yang bermasalah tak perlu menghibur diri dengan mencari orang lain yang jauh lebih bermasalah—sekedar untuk meyakinkan bahwa anda tak lebih runyam dari dia.
Pada akhirnya kita hanya bisa pulang pada definisi azali masing-masing: bahwa kita sama-sama manusia.