
Waktu berjalan dengan cepat. Tak terasa, empat bulan lagi adalah Agustus! Agustus adalah bulan ketika penulis dilahirkan, eh bukan ding… Agustus adalah bulan disaat capres-cawapres mendaftarkan diri untuk Pilpres 2019 nanti, tepatnya tanggal 4 sampai 10.
Baik Pak Dhe Jokowi, Om Prabowo, maupun capres-capres lain yang tak pernah terdengar gaungnya sedang mempersiapkan diri untuk mendapat perhatian rakyat sebanyak-banyaknya. Mulai dari aksi nge-trail Pak Dhe Jokowi dengan motor chopper-nya, aksi telanjang dada dari Prabowo, hingga program super utopis “Umrah gratis per 1 orang” yang dicanangkan dr. Sam Aliano. Begitu pun masing-masing anggota partai pendukung yang terus blow the candidates’ own trumpets agar calon yang diusungnya dipandang positif oleh rakyat dan menjadi bahan perbincangan di media.
Okay, penulis tidak akan membahas capres kita yang lainnya, dr. Sam Aliano dengan program-programnnya yang ora bejaji dan super optimis nun ngguaplek’i.
Lain Prabowo, lain Jokowi. Prabowo dan tim berjuang untuk memperkuat basis massanya. Mulai dari memprediksi Indonesia akan bubar 2030 kalau bukan dia presidennya, hingga kader-kader partai pendukungnya (duo F) yang luar biasa aktif “mengkritisi” pemerintahan Jokowi-JK di Twitter dalam rangka provokasi.
Terbalik dengan Pak Dhe Jokowi. Basis massa Jokowi tak perlu dipertanyakan lagi, baik soal jumlah maupun kesetiaan. Maka dari itu, kini Pak Dhe berjuang untuk menarik simpati elite partai politik.
Menyadari betapa pentingnya dukungan dari elite parpol, Pak Dhe melakukan manuver politik. Tak tanggung-tanggung, ia pun menukik tajam hingga menerobos kebijakan yang ia buat sendiri. Sebenarnya wajar dalam perpolitikan melakukan manuver tersebut untuk mempertahankan kekuasaan – tak ada yang haram asal tidak ketahuan bila melanggar UU. Namun, menjadi pro kontra karena Jokowi yang melakukannya. Sosok idealis dan saklek seperti Pak Dhe bisa bermanuver sebegitu lincahnya.
Manuver yang pertama ialah Pak Dhe yang seolah memberi kelonggaran pada menterinya yang merangkap jabatan di partai politik. Ya, ini tentang Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian yang merangkap jabatan sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
Airlangga Hartarto akhir-akhir ini menjadi menteri di Kabinet Kerja yang lumayan rajin menghiasi media. Bukan sebagai menteri, tapi sebagai Ketum Golkar. In other words, ia lebih sibuk di urusan politik ketimbang urusannya sebagai menteri.
Apakah penulis salah apabila berpendapat terjadi kelonggaran mengenai rangkap jabatan menteri di parpol? Apakah Airlangga sedikit dimanja berhubung Pak Dhe butuh sokongan kuat dari parpol-parpol untuk 2019?
Mengingat pada janji kampanyenya di tahun 2014 mengenai larangan menteri merangkap jabatan di parpol. Dan pada awal pemerintahannya, Jokowi-JK memilih 14 menteri dari parpol dan merekapun segera meninggalkan jabatan mereka di parpol. Wiranto, yang kala itu menjadi Ketum Partai Hanura juga segera meninggalkan jabatannya setelah terpilih menjadi Menkopolhukam di tahun 2016. Pak Dhe sendiri pernah memberikan kode bahwa ia tak ingin ada menteri yang menduakan hatinya pada parpol ketika disinggung soal Airlangga.
Tapi kode hanyalah kode. Hingga saat ini, Airlangga belum jelas ingin melepas jabatannya sebagai menteri atau tidak. Dan sejauh ini, rupanya jabatan ganda Airlangga tidak menjadi masalah bagi Pak Dhe. Justru sangat menguntungkan. Golkar kini sudah dicengkeram Pak Dhe. Dibandingkan dengan Papa Setnov, Airlangga lebih memperlihatkan support-nya terhadap pemerintahan Jokowi-Jk. Apabila Pak Dhe memang tak mau diduakan, harusnya ada batas waktu bagi Airlangga untuk memilih. Tapi, sudah berbulan-bulan Airlangga dibiarkan begitu nyaman menduduki jabatan super elite itu.
Meskipun kelonggaran ini disambut baik oleh parpol pendukung, bak pedang bermata dua, akan menyerang Pak Dhe sendiri nantinya di Pilpres 2019. Pasti akan dijadikan amunisi kampanye negatif dan sebagai bukti kalau Pak Dhe ini pemimpin yang mencla-mencle.
Manuver selanjutnya ialah rencana turning table atau bekerja sama dengan “musuh”. Awalnya penulis menganggap pernyataan Romahurmuziy, Ketum PPP bahwa Jokowi “meminang” Prabowo menjadi cawapresnya sebagai lelucon. Ternyata, kabar itu nyata. Bukan Pak Dhe, tapi Luhut lah yang menemui Om Prabowo. Om Prabowo sendiri menolak karena keinginannya menjadi presiden sudah bulat. Namun, menurut Asia Times, rencana menduetkan Jokowi-Prabowo gagal dikarenakan Om Prabowo meminta jatah 8 kursi menteri .
Dalam buku Robert Greene “The 48 Laws of Power”, bekerja sama dengan “musuh” menjadi salah satu tips jitu untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Apabila penawaran Si A begitu menarik bagi Si B yang notabenenya merupakan musuhnya, Si B akan membuktikan kepada Si A bahwa ia bisa dipercaya untuk bekerja sama. Demi mendapatkan deal yang begitu diinginkan Si B, ia akan memberikan yang terbaik untuk Si A. Jadi, tak disangka sebenarnya langkah ini begitu cerdas. Namun, ambisi Om Prabowo begitu besar sehingga tawaran sebagai cawapres tak menyilaukan matanya. Bisa jadi tawaran 8 menteri hanyalah cara halusnya untuk menolak tawaran tersebut.
Selain itu, langkah menduetkan Jokowi-Prabowo dinilai penulis sebagai langkah sebagai mendinginkan suasana politik. Bukan untuk publik, tapi untuk dirinya sendiri. Selama ini, pemerintahan Pak Dhe kerap diriwuk’i kaum oposisi. Penulis yakin, bukan twit duo F yang membuat Pak Dhe gerah, tetapi anggota dewan dari parpol oposisi kerap menghadang langkah Pak Dhe dan kabinetnya. Jadi, penulis mencoba merasakan perasaan Pak Dhe. Pak Dhe ingin bebas bekerja tanpa diriwuk’i. Mungkin, ekspektasinya, apabila Sang Gembala sudah dipegang, para ternak tak akan menyerang Pak Dhe dan ikut menuruti Pak Dhe.
Tapi, Pak Dhe harus melihat lebih jauh sifat dan tipe Om Prabowo. Apakah ia tipeorang yang kooperatif dan mau bersama-sama bekerja keras? Jangan sampai memilih wakil yang ingin berjalan ke lain arah. Jangan mengulangi dosa yang sama, Pak Dhe.
Manuver Pak Dhe di atas merupakan hal yang lumrah. Tetapi, ingatlah kembali. Apa esensi Pak Dhe untuk memenangkan Pipres 2019? Sekadar melanjutkan kekuasaan kah, atau ingin melanjutkan program-program yang belum selesai dan memperbaiki Indonesia? Apabila tujuan Pak Dhe adalah tujuan kedua, ada baiknya bila Pak Dhe tidak mencari jalan pintas untuk mendapatkan simpati dari elite parpol.
Kekuatan Pak Dhe adalah pada rakyat. Jagalah kepercayaan rakyat agar rakyat tetap setia. Selalu jaga baju dan jejak tetap bersih. Toh, pada akhirnya para elite partai yang butuh dukungan rakyat. Bagimana cara mendapat dukungan rakyat. Ya mendukung calon dengan elektabilitas tertinggi! Jadi, jangan khawatir, Pak Dhe…. jangan bermanuver yang berisiko untuk dijadikan amunisi lawan.