
Oleh: Polikarpus Ivan*
Tulisan ini dibuat atas subyektifitas penulis menelaah rentetan kalimat yang kaya akan aroma buku. Novel ke-12 karya Dewi Lestari, Aroma Karsa, ini berhasil membius sebagian besar pembaca dan sejawat penulis dengan keterpaduan imajinasi dan realitas. Keberhasilan Dee itu direngkuh dari proses riset selama 4 tahun. Salah satunya dengan cara membuat sebuah akun digital tribe di Facebook.
Dee memberikan pendekatan dengan mengirimkan cerbung setiap part-nya ke pembaca yang tergabung dalam akun media sosial tersebut. Komentar yang diberikan oleh netizen inilah yang menjadi salah satu alasan untuk selalu merevisi novel Aroma Karsa hingga mencapai cita-rasa yang sempurna. Pola cerita sekuel yang dihadirkan ini disatukan dalam novel cetaknya yang dirilis pada bulan Maret tahun 2018. Dee memang dikenal sebagai penulis yang inspiratif dan tabah dalam berproses. Ketabahannya mampu merealisasikan imajinasi yang liar namun tetap terasa akrab bagi para pembaca.
Ini cerita tentang tokoh unik Jati Wesi, seorang pemulung yang terampil dengan hidung tikus yang dimilikinya. Segala aroma datang menghardik hidung Jati tanpa pernah minta izin. Akibat kekuatan yang dimilikinya itu, Jati merasa berbeda dengan teman-teman pemulung yang lain di TPA Bantar Gebang. Perbedaan itu membawanya untuk memulai untaian perjalanan hidup yang besar dalam pencarian jati diri Jati Wesi.
Sensitifitas Hidung Tikus milik Jati, membuatnya mudah mengenali dan memilah macam-macam aroma. Mulai dari yang paling menakutkan seperti bangkai bayi hingga yang menyejukkan seperti parfum-parfum terpopuler yang ia produksi ulang di toko parfum Attarwalla. Syahdan, ia lantas diberi tugas oleh Raras Prayagung: menemukan bunga wangi Puspa Karsa sekaligus mencari ‘rumah’.
Dee menarasikan 2 ruang yang berbeda antara di TPA Bantar gebang dan rumah mewah milik Raras Prayagung, pemilik produk parfum Kemara. Kedua ruang ini memiliki tempo kehidupan yang berbeda jika dibandingkan dengan tayangan opera sabun yang digandrungi sebagian besar ibu rumah tangga. Tidak seperti opera sabun Indonesia yang mempertemukan mereka dengan suatu kebetulan yang dipaksakan, ruang ini berjalan berirama hingga mencapai keterpaduan ketika Jati menjadi bagian dari keluarga Raras Prayagung. Jurang kelas itu luntur dengan settingan logis yang menjadi grand design antara masing-masing karakter yang ada. Jati juga menemukan cinta kepada makhluk yang masih ‘satu jenis’ dengannya. Kepekaan mereka terhadap bau membawa romansa tersendiri yang tentu dengan tujuan akhir mencari ‘rumah’. Macam aroma yang dihadirkan Dee seakan merangsek masuk kehidupan pembaca dengan berhasil membaui tubuh kita, parfum kita atau jati diri kita. Aroma itu menyerahkan diri dalam setiap kelikir kehidupan Jati.
Penekanan spiritual diceriterakan pada bagian pencarian bunga Puspa Karsa. Dee menarasikan obsesi Raras untuk mencari bunga itu dengan melakukan segala cara, salah satunya memaksa orang terdekatnya. Menjadi seorang Presiden Direktur Kemara tidak lagi menarik bagi Raras, seolah itu hanya batu loncatan untuk memenuhi ambisinya yang lain. Ambisi pencarian Puspa Karsa untuk direproduksi dalam botol kaca diyakini sebagai denyut terakhir yang akan melanggengkan Kemara sepanjang masa. Berdasar lontar kuno milik Janirah, neneknya, dan penemuan prasasti di Planggatan, Raras yakin bahwa Puspa Karsa bukanlah sebuah legenda. Data-data lain menunjukkan bahwa Puspa Karsa terletak pada jalan pendakian tengah Gunung Lawu, yang konon katanya sebagai tempat pertama turunnya dewa-dewi di pulau Jawa. Dee menggambarkan sosok Raras yang serba ada, kaya luar biasa masih bisa terpengaruh oleh hal klenik yang digaungkan oleh nenek moyangnya. Seakan menjadi penanda bagi orang-orang kaya yang mungkin masih mengandalkan pesugihan untuk melanggengkan harta mereka. Fenomena itu masih sering dijumpai di beberapa gunung keramat di Jawa seperti Gunung Lawu atau Gunung Kawi. Di dunia modern seperti sekarang ini, masih banyak lumbung-lumbung aliran animisme dan dinamisme bagi para pengikutnya yang setia.
Setiap awal, akhir, titik, jeda memberikan ruang reflektifitas akan relevansi yang dapat ditarik dari imajinasi dan realitas novel Aroma Karsa. Kekuatan dalam membangun cerita menjadi tolak ukur Dee untuk tidak memberikan celah irasional kepada para pembaca ketika mewacanakan hal yang berbau legenda. Entah, memang bakat ini anugerah atau perlu latihan yang cukup lama. Dee telah berhasil menjadi legenda baru dalam dunia penulisan yang menyeimbangkan antara yang khayalan dan kenyataan.
*Selain sebagai mahasiswa di Perguruan Tinggi Surabaya, Poli–begitu jejaka ini biasa disapa–juga aktif dalam kajian dan produksi sinema.
Ini novel risetnya nggak main-main, Dee Lestari selalu ngerjakan setiap karyanya dengan penuh dedikasi. Jadi, wajar saja hasilnya bisa saya sebut luar biasa. Dee Lestari memang salah satu penulis favoritku, mungkin butuh belajar banyak dari beliau untuk bisa melahirkan karya yang menurut saya layak disebut sebagai masterpiece.