Cerita murung bermula dari cuitan akun Twitter @m_fikris yang menceritakan kronologi bagaimana seorang laki-laki muda, dari suatu kampus kondang di Surabaya, melakukan pelecehan seksual secara verbal melalui pesan elektronik. Kisah pahit itu dijuduli dengan judul bombastis, macam portal berita onlen: “Predator Fetish Kain Jarik Berkedok Riset dari Mahasiswa PTN di SBY”. Lantas, satu negara ini sejenak melupakan corona, berpindah gandrung pada ‘Gilang’, nama yang disebut-sebut menjadi pelaku pelecehan.
Cerita bertopik seks semacam ini, pembaca tahu, dengan cepat sambung-menyambung, berbalas, dan dibagikan secara meluas di linimasa. Tak hanya ramai di media sosial, yang bahkan sempat menduduki tingkatan teratas trending topic, ia ramai menjadi buah bibir tetangga, hingga agenda pemberitaan media massa.
Selain soal menumbuhkan kewaspadaan bersama, tapi lalu mengapa media, dan juga kita, sangat berambisi pada cerita-cerita semacam ini? Ada beberapa hal yang penulis ajukan di sini.
Pertama, media kita memang mudah sekali terangsang mengangkat berita-berita berbau seks. Apalagi ada anomali yang baru, fetish atau dorongan seksual dalam konteks kasus Gilang ini unik: napsu melihat orang yang dibungkus seperti pocong dengan kain jarik. Sayangnya, pembawaan berita berputar-putar pada fenomena, bahkan mengungkap sejarah Gilang yang sudah sering melakukan tindakan asusila.
Tapi, kemalasan media membuatnya lupa memberi pendalaman perspektif psikologis atasnya. Apakah benar memang fetish? Atau justru gangguan kejiwaan lainnya yang tak berhubungan dengan seksualitas?
Ah, jangan heran, media kita kan memang dari dulu begitu. Sejak zaman Orde Baru, kita sudah di-ninabobo-kan dengan berita konflik pertumpahan darah dan SEKS, supaya pemerintah tidak perlu repot-repot menjawabi pemberitaan yang mengkritisi kinerjanya.
Kedua, kita sepakat – jika memang ini adalah kasus pelecehan seksual – selalu bak gunung es. Korban-korban Gilang lainnya, yang telah menjadi target operasi bertahun-tahun silam, baru terungkap semuanya, ketika ada satu orang yang berani bicara. Kita memang patut berterima kasih (jika memang baik budi niatnya) pada si pembuat thread pada mulanya.
Demikian pula dengan kasus pelecehan seksual yang sudah-sudah. Entah itu pedofilia, pelecehan dalam keluarga, bahkan dalam konteks pria-wanita, selalu membuat sang korban tak berani bicara. Sebaliknya, korban lebih banyak dirundung, dituduh menggoda dengan pakaian terbuka.
Karena memang, belum ada hukum di negeri ini yang mampu melindungi korban pelecehan seksual. Kalaupun ada kasus yang terungkap ke permukaan dan diproses hukum, ia haruslah viral terlebih dahulu di media sosial (dengan mempermalukan korban 2 kali lipat), agar bisa ditindak pakai ‘Sang Maha-benar’ UU ITE, yang tak pernah benar-benar menggasak betapa brengseknya tindakan pelecehan itu sendiri. Benar apa kata sjw-sjw feminis: RUU PKS harus segera disahkan!
Ketiga, persoalan Gilang ini tak bisa hanya dilihat soal orientasi seksual yang melenceng. Kita sepakat bahwa hal tersebut adalah kemerdekaan hak setiap orang. Yang jadi persoalan, cara Gilang – jika, sekali lagi, memang benar fetish – dalam mengajak si korban memuaskan birahinya.
Gilang menggunakan kata-kata yang manipulatif, membohongi anak-anak yang lebih muda darinya agar mau membantunya mengerjakan ‘tugas kuliah’. Ia juga mendekati orang-orang yang tak ia kenal sebelumnya, dengan bahasa perkenalan yang cenderung superior, dominan, sekaligus minim etika. Unggah-ungguh berkenalan, ngobrol, dan meminta tolong pada orang yang baru dikenal seharusnya milik kita semua, terlepas dari apapun pilihan jalan hidup dan orientasi seksualnya.
Keempat, pendapat netijen yang bermunculan akhir-akhir ini justru bernada mengolok karena menganggap Gilang pantas mendapatkannya. Ejekan itu berkedok guyonan, bahkan nama-nama besar seperti Babe Cabita – yang kemudian banyak dihujat netijen juga – ikut-ikutan menertawakan tindakan Gilang. Selain itu, kamu dan saya, mulut kita semua sudah sibuk ngrasani bersama teman-teman tentang betapa tak warasnya Gilang.
Kita tidak sadar, bahwa diri sendiri ini juga sami mawon: menjauhi dan mencibir entah korban entah pelaku, entah juga orang-orang macam Gilang; tapi lupa bersimpati, mendekati, mencari akar masalah, dan menyelesaikannya bersama-sama. Memang benar, gotong-royong yang diajarkan founding fathers kita hanya tinggal klise sekarang (lihat tulisan: ‘Menghidupkan Kembali Klise Kesadaran Kolektif’).
Pada akhirnya, soal bungkus-membungkus ini memang bukan milik Gilang dan rektorat kampusnya yang sibuk memberi pernyataan sikap semata. Ini juga masalah kita semua, yang sudah lama dibungkus rasa egois dan gengsi, menutup mata dan telinga pada persoalan sosial di sekitar kita.
*) Ilustrasi oleh: Tiara Sakti Ramadhani
Menggambar dari Ngagel. Pemanah dan penggemar BTS profesional. Bisa dihubungi melalui akun Instagram @tiarasr.art.