
Berani taruhan, kira-kira sampai lima tahunan lalu, stigma negatif terpopuler generasi tua terhadap generasi muda Indonesia abad keduasatu adalah kalimat ‘Anak muda jaman sekarang nggak peduli sama budaya bangsa sendiri.’
Yaa… nggak salah sih… Tapi nggak benar juga. Selagi para ortu sibuk menghakimi demikian, ada ratusan ribu anak muda yang tengah berjuang melestarikan warisan budaya bangsa tanpa terekspos. Banyak dari mereka berlatih tari sampai badan kemeng nggak karuan, nge-jam dengan alat-alat musik tradisional bersama kawan sepeminatan, atau sibuk memersiapkan karya ukir sampai tengah malam.
Sebaliknya, ada juga mereka yang memang ogah cawe-cawe dalam arus kesibukan pelestarian warisan seni Indonesia. Tapi itupun toh karena orang tua mereka juga males nggak giat-giat amat mengenalkan, apalagi membiasakan, anak-anak mereka dengan kesenian Endonesah.
Tapi kemudian, dikarenakan apa yang disebut para guru dan dosen sebagai ‘krisis identitas’ tersebut, taubatlah masyarakat Indonesia. Eciye… Seketika, sanggar-sanggar kesenian mulai kebanjiran murid-murid baru. Pelaku seni modern mulai memasukkan unsur-unsur budaya tradisional ke dalam karya mereka. Pemusik dan penari tradisional bingung mengatur jadwal karena kebanyakan job. Bebarengan dengan itu, batik menjadi semakin lumrah digunakan dalam berbagai macam acara.
Dalam beberapa tahun saja, warga Endonesah tiba-tiba nampak sebagai gerombolan besar pecinta budaya. Kesenian budaya tradisional akhirnya menjadi komoditas yang luar biasa besar.
Tapi Ada Jeleknya
Mari menilik pada apa yang terjadi di tahun 2013, ketika sebuah film berjudul Frozen menjadi populer sak ndonya. Kala itu, YouTube langsung dipenuhi video cover lagu Let It Go. Boneka-boneka berbentuk Elsa, dengan pinggul yang bisa bergoyang maupun tidak, berjajar di toko-toko mainan pinggir jalan. Tas anak grosiran sekalipun bergambarkan wajah Elsa dan Anna, beberapa dihiasi tulisan ‘Princes’ atau ‘Mising You’ yang jelas-jelas cacat grammar dan blas nggak nyambung sama filmnya.
Sama seperti itu, menginjak popularitas baru, aktivitas melestarikan kesenian budaya Indonesia pun jadi punya versi KW-nya, mulai dari KW Super sampai KW minus-minus. Tentu saja, namanya juga kesenian, pasti bisa dinikmati maupun diselewengkan diinterpretasikan dengan cara bermacam-macam. Hanya saja, permasalahan muncul ketika hal itu dilakukan dengan rasa minim hormat terhadap karya seni itu sendiri.
Begini deh contohnya. Di kota-kota besar kan suering pake banget nih yang namanya seminar, woksop, disnatalis, dibuka atau diisi dengan penampilan kesenian, paling sering tari. Tapi sayang sekali, pihak penyelenggara acara maupun para “penari”-nya sendiri kadang nggak paham sama filosofi tarian yang ditampilkan. Nggak jarang ada kejadian di mana tarian sakral khusus pernikahan ditampilkan di pembukaan seminar. Sebaliknya, tarian kreasi yang modern dan atraktif, yang sengaja dibuat untuk menyambut tamu luar daerah, malah dijadikan pembuka kirab manten.
Itu baru dari aspek filosofi. Pada aspek kostum juga tak jauh beda. Sering sekali penulis mendapati penampilan Tari Gandrung—kan Banyuwangi memang lagi ngetren banget nih—yang jarik atau sewek-nya bukan motif batik Banyuwangi, tapi Madura, atau lebih parah lagi motif Jawa Tengah. Bahkan Mila Rosinta, seorang penari ternama asal Jogja, pernah berkeluh bahwa salah satu tariannya, Srimpi Kawung, yang menceritakan filosofi motif Kawung, pernah ditampilkan ulang oleh penari-penari yang menggunakan batik bermotif Parang.
Yang jauh lebih fatal masih ada. Sebuah video di YouTube menampilkan dua penari yang membawakan tari Gelang Ro’om dengan interpretasi yang ngawur gyet. Ragam-ragam gerak Gelang Ro’om yang disusun untuk menceritakan kerja keras dan kecantikan wanita Madura diubah SELURUHNYA jadi gerak uler meliak-liuk. Sudah begitu, lagu iringannya dipotong di beberapa bagian dan video diunggah tanpa disclaimer apapun, tetapi dilengkapi tagline ajakan untuk melestarikan budaya. Huft… Mari berpikir positif saja. Siapa tahu mereka memang ingin membuat kreasi tari kontemporer *masukkan efek suara ngakak*.
Itu tadi contoh dari sisi penampil. Dari sisi penikmat? Ada juga. Di Surabaya saja, bersamaan dengan semakin rutinnya tontonan rakyat seperti ludruk, ketoprak, dan wayang orang ditampilkan sebagai pergelaran periodik, semakin banyak pula fotografer yang tergugah untuk mengabadikan momen pementasan. Terkadang, demi beroleh hasil jepretan yang bagus dan estetek, mereka rela mengabaikan hal yang lebih utama, yaitu pertunjukan itu sendiri.
Tak jarang kita dapati suara para aktor di panggung tertutup oleh percakapan antarfotografer di dekat kita yang bingung lensa mana yang bagusnya dipakai, seberapa ISO-nya, seberapa aperture-nya, bla bla bla… Lalu tiba-tiba kita dikagetkan flash yang menyentak pandangan, walaupun penggunaan flash sudah dilarang sejak awal pertunjukan.
Lebih parah lagi, para fotografer ini kadang nggak sungkan untuk senggal-senggol kanan-kiri—kalau pertunjukannya di ruang terbuka—demi sampai di baris paling depan. Maklum, mereka kan pengen dapat spot strategis. Nggak apa-apa lah, sekalipun harus menutupi pandangan kakek-kakek tua atau dedek-dedek kecil yang sudah susah payah datang demi nonton pertunjukan.
Sudahlah. Untuk apa terlalu banyak ngomel? Toh semua juga melakukan atas dasar cinta dengan budaya kan? Sayangnya, kadang cinta itu buta, termasuk buta terhadap filosofi keberadaan budaya itu sendiri.
Manteppp mbak net sukak