Akan terlalu sederhana apabila kita memaknai tahun baru hanya sekedar sebagai momentum berlibur. Banyak perihal hidup yang perlu pertimbangan untuk diusaikan atau diteruskan. Adapun yang butuh diistirahatkan pada tahun ini ialah dendam. Istirahatlah dendam-dendam. Kita sepakat kurang lebih dua tahun terakhir banyak situasi yang memaksa kita menjadi pendendam – ada pula sekelompok orang yang menawarkan dirinya dalam ingatan kita untuk diletakkan sebagai objek dendam.
Bahkan mungkin beberapa dari mereka memaksa kita membuat agenda untuk pembalasan di tahun selanjutnya. Boleh dibilang itu kurang baik. Dunia semakin purba, bahasa-bahasa semakin sulit dimengerti, pengetahuan semakin banyak melahirkan teknologi, teknologi semakin banyak membatasi pengetahuan: hidup semakin rumit meski pada titik tertentu kerap memaksa kita menyederhanakannya – dan menanam dendam akan menjadi pekerjaan yang sia-sia. Pengecualian untuk para pendendam Ria Ricis, pertahankan.
Jadi Begini
Tahun lalu ketika mendekati perayaan 2017, di kota saya – Mataram, gencar sekali pertokoan membuka diskon besar-besaran untuk setiap produknya. Bahkan untuk barang-barang yang selalu hilang ketika dibutuhkan: Lem, Centong, Potongan Kuku, Kaos Kaki, dsb. Seorang teman, mendapatkan sepatu seharga hanya tiga ratus ribu dari yang semulanya sejumlah besar sembilan ratus ribu. Selain berjudul diskon akhir tahun, ada pula para pedagang yang menggunakan dalih cuci gudang sebagai nilai tawar pada konsumen; Semua produk di bawah sepuluh ribu; Kami cuci gudang, Anda mengisi gudang. Sungguh mantra-mantra yang menggiurkan.
Di kemudian hari – kita sebut saja Wahyu – Wahyu gemar sekali memamerkan barang baru yang ia miliki, termasuk hasil perburuannya selama diskon akhir tahun. Sikap ryak dari Wahyu ini lah yang akhirnya menjadi muara perselisihannya dengan Irfan – teman saya yang lain. Irfan memang tidak terlalu gemar mengoleksi produk-produk berupa properti kekinian. Namun karena tekanan dari sikap Wahyu yang berlebihan, Irfan pun berniat untuk berbelanja habis-habisan untuk tahun selanjutnya. Untuk itu pula sejak setengah tahun yang lalu ia mulai rajin menabung.
Pada tanggal 29 Desember 2017, dua hari sebelum tahun baru tiba, kami bertemu di sebuah mal di Mataram – sekaligus mengklarifikasi bahwa Mataram, Nusa Tenggara Barat memiliki pusat perbelanjaan modern. Mengingat dendamnya yang tertanam sejak tahun lalu, Irfan, setelah beberapa lama, mengajak kami berbelanja: membeli apa saja yang sedang banting harga. Mendengar ajakan tersebut, Wahyu meminta izin untuk pergi ke ATM Center, “saya ambil duit dulu, sebentar…”, katanya.
Tidak lama setelahnya, kami pergi dan memasuki setiap toko pakaian yang ada di mal. Saya pun menyaksikan bagaimana Irfan dan Wahyu sama-sama memiliki gengsi yang tinggi untuk tidak menawar. Dan sikap mereka ini sangat disukai para pedagang. Jika jadi pedagang mungkin saya akan berdoa agar orang-orang seperti mereka lahir setiap hari ke dunia. Minimal sepuluh. Supaya bisa mengguncang mal dan mencabut harga dari barangnya .
Jam-tangan, sepatu, baju, celana, ikat-pinggang, parfum, mulai memasuki kantung belanja mereka. Sedangkan saya berada di antara keduanya sebagai juri yang menilai siapa paling dermawan malam itu. Singkat cerita, Wahyu memenangkan perlombaan. Ia mengalahkan Irfan dengan total belanja yang hanya selisih beberapa puluh ribu. Masing-masing mereka mengeluarkan uang sebanyak tiga juta pada malam itu.
Di akhir pertemuan, Irfan berkata jujur, bahwa ia sudah lama menanam dendam pada Wahyu karena kesombongannya. Dan hal tersebut menjadi alasannya mengajak berbelanja untuk membuktikan kepada Wahyu bahwa Irfan juga mampu menyombongkan diri. Walau akhirnya Wahyu tetap menjadi pemenang dan berhasil mempertahankan status-quo sebagai manusia paling konsumtif pada malam tahun baru.
Sejujurnya saya sendiri mengalami kesulitan dalam mencari hikmah dari cerita mereka, kecuali kekonyolan belaka. Tapi sedikit pelajaran yang bisa kita petik, sesungguhnya dendam itu tidak baik, anak muda. Dan tidak perlu dibayar tuntas. Dendam membuatmu merasa tidak berkecukupan. Kalau semisal ada yang mengalami kejadian yang sama seperti Irfan dan Wahyu, selesaikanlah segera. Berlombalah dengan cara yang lain. Berlomba-lombalah menuju kebaikan-Nya, niscaya semua barang diskonan itu adalah kefanaan duniawi.
Di tahun baru 2018 ini, mari bersama kita menciptakan cara hidup yang baik, yang sederhana saja, kurangi bermewah-mewahan supaya tidak dicontoh oleh orang lain. Jaga perasaan saudara kita yang melihat mal sama takutnya seperti melihat penjara. Kalaupun ingin merayakan tahun baru, isi dengan hal-hal positif. Mungkin berkumpul bersama keluarga atau mengungkapkan cinta pada doi masih menjadi pilihan yang bagus. Memperpanjang barisan diskonan tidak mengubah apa-apa dari masalah-masalah kita selain kemenangan telak pasar bebas.
Selamat Tahun baru untuk para pembaca yang budiman, semoga kembang api pada awal tahun ini sama indahnya dengan hari-hari baru yang akan kita jalani nanti – aamiin.