
Komunis di Indonesia diposisikan sebagai ajaran haram yang patut dijauhi. Tidak boleh dibaca, apalagi diimani. Selama tahun 1966-1998, orang-orang yang dianggap sebagai simpatisan komunis mendapat perlakuan tidak adil, baik secara sosial dan politik. Kebanyakan dari mereka minggat ke luar negeri untuk melanjutkan kehidupan, dan sebagian besarnya lagi dilempar ke Pulau Buru tanpa alasan yang jelas. Mirip-mirip kisah anak kecil yang disiksa ibu tirinya-lah.
Pasca reformasi, ketika Soeharto tidak lagi memimpin, keran demokrasi diperlebar. Namun gunjingan yang mengibliskan citra komunis tidak menipis. Bahkan istilah “komunis” sejajar dengan umpatan yang merujuk pada perilaku buruk seseorang. Semisal, tidak rajin beribadah adalah komunis. Tidak taat kepada orangtua adalah komunis. Mempertanyakan eksistensi Tuhan adalah komunis. Protes kepada guru di sekolah adalah komunis. Pokoknya kata komunis selalu sejajar dengan nuansa kriminalitas. Kalau “anjir” itu kotor, komunis lebih kotor lagi. Begitu kira-kira.
Mengapa?
Orde Baru mempunyai program ideologi yang disebut sebagai Anti-Komunisme. Di mana orang-orang yang memiliki kedekatan hingga dukungan politik terhadap komunisme, harus disingkirkan dengan dalih menjaga stabilitas negara. Ketika itu, Orde Baru tidak hanya memperkerjakan aparatus negara, tapi juga melibatkan masyarakat setempat. Masyarakat dihimbau untuk melaporkan kepada pihak berwajib jika menemukan tanda-tanda keberadaan PKI. Lha, ndilalah, cara ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang punya akses melapor tersebut demi kepentingan pribadi.
Banyak dari masyarakat kita yang saling tuduh-menuduh komunis karena masalah personal semata. Misalnya, Nurhadi punya masalah dengan Aldo karena Aldo dianggap sok ganteng. Nurhadi yang memiliki akses kepada pemerintah akhirnya melaporkan Aldo dengan tuduhan bahwa Aldo adalah simpatisan PKI. Alhasil, keesokan harinya Aldo menghilang (karena dihantam Dilan akibat mengganggu Milea), dan Nurhadi menjadi satu-satunya orang terganteng yang tersisa.
Dua puluh tahun lebih reformasi berlalu, tapi gejala-gejala seperti ini masih terjadi. Buku bermuatan kiri dibakar, disita, dan dijauhkan dari rak toko-toko buku. Dulu pernah – pasca reformasi – buku karya mbah Franz Magnis-Suseno yang berjudul Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, dibakar oleh sekelompok orang yang menyebut diri mereka Aliansi Anti Komunis (AAK).
Mereka beranggapan, jika buku-buku yang memuat unsur-unsur komunisme, baik judul, cover, maupun isi, harus dibakar sampai jadi debu. Padahal buku mbah Magnis-Suseno itu adalah buku yang menghajar habis pemikiran Karl Marx. Artinya, orang-orang ini tidak peduli tentang kandungan buku yang mereka bakar. Atau mereka terlalu sibuk hingga tidak sempat memahami isi buku, atau lebih jauh lagi, mereka terlalu “batu” untuk memahami buku-buku itu.
Contoh yang lebih segar, tidak lama ini di Padang Kediri juga dilakukan aksi penyitaan terhadap buku-buku yang dinilai memiliki kandungan komunis, marxis, manis, lamis, amis, sembarangkalir-lah. Kalau begini terus, kapan mau terwujudnya cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa jika cara pandang kita terhadap ilmu pengetahuan semakin dipersempit dan akses untuk mendapat buku-buku berkualitas tidak dibuka.
Fyi, memahami komunis itu bagian dari penggalian ilmu pengetahuan, lho. Jangan dikira komunis itu tidak memiliki kandungan hikmah. Ibarat seharam-haramnya babi, dia tetap memberikan pelajaran bagi manusia supaya tidak menjadi pribadi yang rakus, jorok, dan malas.
Kalau pun buku-buku komunis itu haram, mari, sama-sama kita buktikan! Kita berjumpa dalam forum diskusi, kita berdebat sampai menemukan kesepatakan intelektual kalau komunis tidak berhak memperlihatkan batang hidungnya di bumi Indonesia. Atau minimal hentikan kebiasaan membubar-bubarkan diskusi tentang sejarah-sejarah yang berasal dari perspektif korban genosida Orde Baru. Saya Yaqueen, tanpa diberi tindakan represif, atau disita buku-bukunya, komunis akan pergi dengan sendirinya dari negara ini. Hanya saja, tindakan aparat mempercepat kepergian komunis, akan menjadi ancaman bagi keselamatan berpikir rakjat.