
Harkat dan martabat hidup manusia berkebangsaan Indonesia adalah memiliki sifat peduli. Sifat peduli itu lambat laun berevolusi; kadarnya jadi terlalu banyak kini. Saking banyaknya, masih ada waktu yang tersedia bagi masyarakat negara ini untuk memikirkan perkara pelik orang lain, padahal masalah diri sendiri belum usai. Termasuk persoalan hidup si mbak kesayangan kita semua, Maudy Ayunda.
Jagat media sosial berhasil dibuat gempar gara-gara dua postingan cah ayu ini beberapa hari lalu, lantaran ia mengunggah kabar bahwa dirinya diterima di dua universitas kenamaan dunia, Harvard dan Stanford. Maudy lantas ditimpuk dilema. Untuk mempercantik CV-nya yang sudah bertuliskan lulusan Oxford, manakah yang harus dipilih?
Dilema itu tentu tak hanya melanda artis serba bisa ini. Se-Indonesia raya dibuatnya repot betul. Dilema ini kemudian merambah naik jadi trending topic di linimasa, dihiasi kegelisahan receh masyarakat kelas menengah. Oleh netijen Nusantara, dilema Maudy kemudian dibandingkan dengan dilema diri sendiri. Jadilah sejumlah lelucon gaya baru.
Maudy: Harvard vs Stanford
Aku: Belajar buat UN vs SBM
Maudy: Harvard vs Stanford
Aku: Indomi kuah soto vs Indomi kuah kari
Maudy: Harvard vs Stanford
Aku: Mau kerja revisi skripsi sekarang vs nonton oppa di drama korea
Fenomena ini jadi pengingat bahwa kita memang tidak pernah mampu melepas unsur subjektif pada persoalan orang lain. Padahal, kita bisa melihat dilema Maudy apa adanya saja, tanpa dikaitkan dengan persoalan pribadi. Padahal, kita bisa saja berhenti pada apresiasi murni dan tulus, tanpa merasa “apalah aku yang hanya butiran jasjus ini”.
Masyarakat kita memang terbiasa bersimpati. Kadang, sampai tidak sadar bahwa ada hal-hal yang sebetulnya gak terlalu penting untuk disimpatikan. Simpati seakan-akan menjadi pilihan terakhir selagi objek tidak bisa dibuat nyinyir. Karena Maudy tak punya celah untuk diolok, lantas cara lain dicari.
Adalah persoalan di sisi lain bahwa masyarakat kita juga tidak terbiasa memuji. Apalagi bersyukur dan mengakui kemampuan diri, sungguh masih jadi rancangan kurikulum hidup yang belum terwujud.
Kita hanya fokus melihat hasil yang diraih Maudy, tanpa pernah tahu bagaimana proses belajar dan kerja keras yang dilaluinya. Kita hanya tahu kesuksesan seorang Maudy, tanpa tahu derai air mata dan marah-marahnya ketika sakit atau kecewa di tengah jalan. Pada akhirnya, Maudy hanyalah manusia yang seperti kita.
Pun jika dilema kita hanya soal apakah mandi sekarang atau lima menit lagi, lantas mengapa? Jika dilema kita adalah tentang memilih doi yang sekarang atau mantan terindah, lantas mengapa? Memangnya dilema-dilema di dunia ini punya kasta dan tingkat prestisius?
Jangan-jangan, selagi kita mengagumi dan membandingkan diri dengan Mbak Maudy, tanpa sadar kita sedang membuang waktu untuk mengapresiasi dan memotivasi diri sendiri. Jangan-jangan, selagi mengamati jalur hidup orang lain, kita sedang membuang kesempatan untuk bertumbuh dan naik level di kehidupan sendiri. Bisa jadi, waktu yang kita habiskan untuk mikiri kampus pilihan Maudy, setara dengan waktu untuk mengerjakan revisi skripsi, wisuda, memulai usaha warkop kecil-kecilan, dan membangun rumah tangga yang sakinah.
Pada masanya, kita akan menghadapi dilema kita sendiri yang tidak kalah peliknya dengan punya Maudy. Jadi tidak perlu membandingkan. Karena jangan-jangan, sekali lagi, membandingkan adalah pintu dari iri hati tanda tak sampai.
We never step in their shoes. Tapi nek aku dadi de’e, yo jelas dilema seh.
hehehe khasnya Diindonesia mAh mendilemakan banyak hal..