
Oleh: Luky Maulana*
Nama Abdul Aziz, mahasiswa Doktoral UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, jadi melambung beberapa waktu belakangan akibat disertasinya yang menuai kontroversi. Karya ilmiah dengan judul “Konsep Milk Al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Nonmarital” dengan segera mengalami penolakan dari pelbagai pihak, mulai dari lembaga agama quasi-negara seperti MUI, hingga Wakil Ketua Komisi Agama DPR RI Sodik Mudjahid.
Dalih penolakan tersebut berada pada asumsi efek buruk dari karya intelektual yang justru akan mendukung praktik seks bebas di luar pernikahan, yang tentu tidak sesuai dengan tuntuan ajaran agama dan norma kesusilaan di Indonesia. Kendati begitu, disertasi tersebut lolos dengan nilai sangat memuaskan dan bukan tanpa kritik dalam proses pengujian, baik kritik yang bermuatan teologis, maupun konsekuensi sosial-politik apabila diberlakukan di Indonesia.
Tulisan ini tidak akan membahas bagaimana muatan disertasi tersebut. Saya kira ini adalah porsi dari proses persidangan.
Alih-alih, saya melihat bahwa dosen IAIN Surakarta ini memiliki motivasi aksiologis dari kegelisahannya mengenai kriminalisasi hubungan intim-nonmaritalitas dengan dasar saling suka yang diatur dalam Pasal 417 Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Intinya berhubungan seks di luar pernikahan berpotensi dicap termasuk dalam hukum pidana. Penelitiannya berusaha untuk melindungi esensi hubungan seksual sebagai hak asasi manusia, berangkat dari sudut pandang salah satu aliran tafsir Islam.
Abdul Aziz seketika menjambak perhatian saya. Semangat intelektualnya berangkat dari sebuah kontradiksi antara agama dan seksualitas, persoalan sensitif negeri ini.
Pasalnya, agama yang seringkali menjadi sumber pengetahuan utama bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Tafsir-tafsir teologis mengenai seksualitas – yang mana melarang praktik seks bebas – dianggap bersifat saklek dan final.
Hal ini persis seperti yang dikatakan Haryatmoko (2016) bahwa agama merupakan lembaga produksi kekuasaan-pengetahuan yang paling dahsyat terutama di Indonesia. Sehingga menurut saya, mengembangkan wacana seksualitas dari sudut pandang agama menjadi hal yang problematis.
Foucault, pencetus teorema kekuasaan-pengetahuan, menganggap pengetahuan tentang seks selalu diatur dalam kehidupan modern. Agama sebagai aktus kekuasaan yang dipercaya oleh negara, tampil sebagai pengatur individu untuk mengontrol tindak-tanduk seks dalam masyarakat. Namun, Foucault juga melihat bahwa seksualitas telah mengalami perubahan yang signifikan, dari pengetahuan menjadi wacana.
Mengutip Haryatmoko (2016), wacana tentang seks ini semakin masif dan berkembang, akibat minat ilmiah dan keingintahuan yang tinggi, justru kerap kali datang dari kekuasaan. Mekanisme ini ditempuh oleh Abdul Aziz yang berusaha untuk membahas seksualitas dari sudut pandang agama secara teologis. Dalam perumpamaan Foucault (1978), seseorang seperti Abdul Aziz lah yang akan bertahan di luar jangkauan bahasa kekuasaan – yang akan mengecewakan hukum dan mengantisipasi datangnya kebebasan.
Oleh karena itu, saya beranggapan bahwa kita butuh lebih banyak orang seperti Abdul Aziz. Wacana seks perlu dikembangkan dalam kerja intelektual.Saya kira kita patut meniru motivasi aksiologis Abdul Aziz untuk mengembangkan wacana seksualitas yang menghasilkan pengetahuan ilmiah.
Kalau perlu, wacana tersebut dikembangkan dari posisi kekuasaan-pengetahuan yang berseberangan sekalipun yaitu agama. Dapat diulik bahwa agama dapat memainkan peran di ruang publik dalam menembus batas-batas teologis yang dianggap sudah final dalam persoalan seksualitas.
Upaya-upaya lewat jalur ilmiah ini diharapkan dapat mempercepat terwujudnya Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang berikhtiar untuk melindungi dan menegakkan keadilan hukum bagi perempuan korban kekerasan seksual.
*Penulis adalah Marhaen kelahiran Surabaya yang menjadikan kopi hitam dan buku jadi asupan sehari-hari untuk memenuhi gizi jiwa intelektualnya.