
(Disclaimer: tulisan ini memang agak sedikit bijak, mohon ambil ancang-ancang!)
Siapa yang menyangka, sebutan “monyet”, yang kelihatannya sederhana itu, sesungguhnya tidak pernah sederhana. Ujaran dua suku kata itu membuka luka lama, menjadi bom atom yang terlanjur meledak.
Tunggu, ini bukan sebutan “monyet” yang ikonik dari Herman Mellema kepada Minke, atau dari Minke kepada tentara Belanda saat membawa Annelies. Kita mengacu pada peristiwa julukan “monyet” yang disematkan pada kawan-kawan kita, mahasiswa asal Papua yang menimba ilmu di Pulau Jawa.
Entah sudah dianggap biasa, atau bahkan terlalu berlebihan, jika ejekan binatang itu berimbas emosi yang meledak di timur Indonesia. Yang jelas, peristiwa ini jadi pengingat, bahwa intoleransi masih bercokol dan belum mau pergi dari bangsa kita. Bahkan, seakan dibiarkan tumbuh dan dipanen oleh rakyat.
Apa obat atas intoleransi di negeri ini? Tidak ada yang menemukannya, setidaknya (dan mudah-mudahan) untuk saat ini. Asal muasalnya perilaku resisten terhadap perbedaan juga hampir tidak diketahui. Kompleks.
Menurut sejarawan, barangkali jawaban yang paling pas untuk menyalahkan hulu intoleransi adalah penjajahan ke bumi pertiwi. Belanda-lah yang awalnya mengotak-ngotakkan inlander, bangsawan, pendatang seperti cina dan arab, indo, hingga belanda totok itu sendiri. Stratifikasi ini kemudian membentuk dasar tatanan sosial di dunia jajahan, termasuk Indonesia.
Walau sudah merdeka pun, tak bisa semudah itu melepas pola pikir bahwa kedudukan dalam “rantai makanan” manusia ditentukan dari warna kulit. Akademisi hobi menyebutnya ‘ideologi dominan’. Penjelasan lanjutnya, bahwa telah terpatri di pikiran kita, bangsa kulit putih dan warga ras Kaukasian lebih beradab dari orang-orang yang lahir dengan kulit gelap.
Tapi, apakah benar intoleransi di Indonesia semata-mata hanya karena sejarah masa lalu? Apa kita hanya bisa menyalahkan penjajah, bangsa barat, yang membuat kita kenal soal kotak-mengotak di antara masyarakat itu? Apakah benar, kita sungguh-sungguh tidak turut “berkarya” melestarikan budaya intoleransi ini?
Tanpa kita sadari, barangkali sejak masih menyusu dan belajar berjalan, kita sudah ditanami oleh keluarga, bahwa diri kita sendiri inilah yang paling baik dari golongan lainnya. Bahwa ras kita, suku kita, dan agama yang kita anut, entah di lingkungan kawan sebaya hingga di mimbar agama, senantiasa didengungkan menjadi yang paling unggul.
Sementara hal-hal yang di luar kepercayaan kita adalah kesalahan mutlak yang tidak bisa diganggu gugat. Rakyat kita, entah dengan atau tanpa penjajahan, terbiasa menanamkan satu sudut pandang kebenaran. Tidak terima dengan alternatif kebenaran lain.
Celakanya, media kita turut membantu budaya intoleransi ini untuk semakin tumbuh subur. Diberi pupuk, dirawat, dan disirami serta dipanen.
Soal Papua misalnya. Tidak hanya memberitakan peristiwa kemarahan warga Papua, tetapi media-media mulai berlomba menampilkan kebaikan Papua. Sama seperti obrolan pelayat di rumah duka. Orang yang meninggal tentu diunggulkan kenangan baik atasnya, walau semasa hidupnya penuh cacat cela dan tak kunjung bayar kasbon warteg.
Tajuk-tajuk seperti “Papua juga bisa”, atau “Papua juga mampu”, “Papua juga Indonesia” laris manis jadi topik utama yang diajukan di meja redaksi. Prestasi-prestasi anak Papua disoroti secara berlebihan dan hanya pada satu masa itu saja. Tujuannya satu: meredam suasana di Papua yang sudah terlanjut panas (dan mungkin dengan tujuan lain: membuat Papua masih merasa dihargai oleh Indonesia). Mungkin, tiga minggu lagi, berita tentang Papua akan dilupakan lagi
Pertanyaannya, jika Papua dikata “juga bisa” dan “juga mampu”, memangnya selama ini mereka tidak bisa dan tidak mampu? Ke mana saja media selama ini? Apakah sibuk menyoroti rapat-rapat di Senayan hingga tidak sadar bahwa warga Papua memang sudah, sedang, dan akan selalu berprestasi setiap harinya?
Sama seperti kelakuan media saat mengulas intoleransi antar agama. Berita peristiwa perpecahan antaragama, akan diredam dengan contoh masyarakat yang saling menghargai antar agama. Antar tokoh agama bertemu dan berbincang, atau antar umat saling menjaga rumah ibadah saat hari raya besar agama.
Seakan-akan perbedaan suku dan agama ini harus melulu disorot. Seakan toleransi adalah prestasi. Padahal, bukankah bangsa kita sudah hidup dalam perbedaan sejak dulu?
Perbedaan adalah kebiasaan. Toleransi adalah kodrat, implikasi atas perbedaan itu. Toleransi bukan sunnah, yang ketika dilakukan harus diliput media dan digembar-gemborkan.
Barangkali, obat yang benar atas intoleransi adalah menghentikan perilaku media dan masyarakat kita, yang terlalu kagum dengan toleransi. Toleransi harusnya ibarat napas manusia, dilakukan setiap hari, tanpa harus diperlakukan terlalu mulia seakan seperti mutiara yang hilang.
Karena penulis percaya, toleransi adalah karunia yang otomatis ada dalam darah bangsa Indonesia. Ciye.