
Oleh: Trisca Suci Pamungkas Sari*
Di era digital saat ini, masyarakat mendapat beragam informasi dengan mudahnya. Tanpa harus membeli koran tiap pagi, menyalakan televisi dan mengganti channel, ataupun menghidupkan radio dan mendengarkan berita yang tidak ada siaran ulangnya. Kini kita sudah bisa mendapatkan informasi hanya di dalam genggaman.
Meski begitu, berbagai kemudahan ini pasti ada banyak sisi buruknya. Salah satunya, dan yang berdampak besar kata pemerintah adalah penyebaran hoax.
Karena mudahnya mengakses jaringan internet, banyak oknum memanfaatkannya dengan cara yang salah. Sumber dari lagi-lagi website Kominfo, sudah ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang telah terindikasi sebagai penyebar informasi palsu atau hoax.
Sedihnya, situs-situs itu diyakini masyarakat sebagai fakta, kemudian dibagikan ke teman media sosialnya. Utamanya, media sosial kecintaan kita semua, Facebook dan Whatsapp menempati urutan teratas tempat hoax bertebaran. Betapa cepatnya berita hoax itu tersebar jika masyarakat kurang meneliti terlebih dahulu berita yang didapat.
Padahal, manusia punya reaksi alamiah, yaitu akan merasa gelisah karena berita yang diterima itu belum terjamin kebenarannya. Menurut riset Masyarakat Telematika Indonesia dari Daily Social pada awal tahun 2017, sekitar 84,5% dari 1.116 responden menganggap terganggu dengan adanya hoax.
Persoalannya, masyarakat kita sering terjebak rasa empati dan merasa sebuah berita patut disebarkan ke orang-orang terdekat. Hampir 75% responden dari riset Daily Social menganggap membedakan hoax dan tidaknya itu sulit dan perlu waktu cukup lama. Penyebar hoax juga sulit dilacak karena banyak yang menggunakan akun anonim.
Padahal banyak hoax terjadi di ladang Whataspp, di mana platform tersebut mendaftarnya dengan nomor telepon. Kan pemerintah sudah mendaftar nomor telepon sekaligus pemilik dengan nomor KTPnya, apa yang susah sih untuk melacak siapa pelakunya? Huft.
Di Indonesia juga sudah ada KUHP tentang fitnah dan hasut serta UU ITE Pasal 28 tentang penyebar berita bohong yang menyesatkan. Tapi sayangnya, hoax juga belum bisa diatasi dengan maksimal.
Jalan keluar terbaik memang harus dimulai dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat harus diedukasi agar tidak memakan berita mentah-mentah. Perlu membudayakan membaca untuk hal ini, agar wawasannya luas. Dengan begitu, masyarakat tidak mudah dibodohi, bisa memilah berita yang benar dan yang tidak.
Alternatif lain, masyarakat bisa ikut serta menjadi citizen journalist yang kolomnya banyak disediakan media. Artinya, masyarakat lah yang jadi sumber primer sebuah berita berasal, melakukan kerja jurnalistik. Masyarakat yang turun ke lapangan, mengikuti peristiwa, kemudian menuliskannya. Nantinya, kebijakan redaksi perusahaan media akan memfilter sehingga berita dari masyarakat itu sudah teruji kebenarannya, layak dikonsumsi publik.
Dari situ, masyarakat bisa melihat situasi kondisi yang terjadi saat ini dan meninggikan nilai kejujuran dari berita yang dibuat. Barangkali, setidaknya kita bisa mengurangi kebahagian oknum penyebar hoax yang berkeliaran di luar sana.
Eh tapi, masyarakat negeri +62 ini kan gak mau repot. Masih mau gak ya, susah-susah cari kebenaran di balik suatu informasi? Hmmm, kapan sembuhnya kita dari hoax?
*Penulis mengaku sebagai mahasiswi Unversitas 17 Agustus 1945 Surabaya