
Akhir-akhir ini, entah apa yang merasukiku (plis jangan nyanyi), jari-jari ini memilih berselancar menduduki profil Karin Novilda. Awkarin—entah nama dari mana—lagi gemar-gemarnya muncul ke permukaan linimasa. Foto-fotonya yang membagi konsumsi pada massa aksi, ikut memadamkan api di lokasi karhutla, sampai memberi donasi pada driver ojek online yang kena tipu, mengalahkan seluruh algoritma nan rumit di media sosial, menjajaki trending topic.
Namanya yang melejit lagi akibat aksi sosial yang ia lakukan lantas memicu cap-cap dari warga dunia maya. “Aji mumpung”, “pencitraan”, “cari muka”, atau apapun istilahnya, disematkan pada mbak yang satu ini. Bagi masyarakat kita, cap-cap ini memang berkonotasi negatif. Diksi itu ditujukan untuk orang-orang yang terkenal akibat sensasi dan minim prestasi.
Sesungguhnya, letak kesalahan, menurut penulis, bukanlah pada Awkarin dan segala aksi amalnya. Justru, yang perlu diuji kembali adalah stigma-stigma yang keburu dipandang negatif itu.
Seburuk-buruknya moral Awkarin menurut penilaian ente sekalian (karena dia bertato dan suka berpakaian minim), setidaknya ia mahir mencari kesempatan. Ia sadar betul sudah sejauh apa ketenarannya, memanfaatkannya untuk menimbun pundi-pundi uang, lewat “karya” dan segala endorse yang bisa diusahakan. Dari sana ia berpijak, kemudian berangkat lagi “mencari panggung”, menunjukkan kepedulian dan rasa kemanusiaannya pada situasi bangsa. Ia memanfaatkan pengikutnya, menggerakkannya untuk berbuat kebaikan.
Bukan berarti Awkarin tidak punya kemampuan. Ia seorang gadis belia yang cerdas, dalam pembawaannya ketika diajak berdiskusi topik-topik menyangkut hajat hidup publik. Caranya bicara pun runtut dan sistematis, nampak dari video-video buatannya. Ia bisa saja memanfaatkan nama besarnya untuk membahas perpolitikan dan kebijakan teranyar DPR, layaknya content creator lain.
Nyatanya, Awkarin punya caranya sendiri. Awkarin dengan eksposurnya sadar betul, ia tidak perlu mencoba sok tahu dan berpendapat soal RUU KPK maupun RKUHP, menjadikannya konten di media sosialnya demi adsense. Ia tahu bidang apa saja yang tidak perlu disentuhnya hanya demi mengejar likes dan comment.
Dari Awkarin-lah kita belajar cara mencari dan memanfaatkan peluang. Mengerjakan sesuatu sesuai kapasitas, konsistensi membangun persona, dan berbahagia atasnya.
Foto oleh: Karin Novilda (Instagram @awkarin)