Kota yang kondang sebagai neraka kedua karena suhu panasnya ini (neraka pertama adalah chat yang tak berbalas dan webinar yang sepi pemirsa), makin mendidih beberapa hari terakhir.
Tak lama setelah ricuh amuk walikota Tri Rismaharini menggelegak di media, Surabaya langsung telungkup sebagai salah satu wilayah dengan pengidap Covid-19 tergawat di Indonesia. Status warnanya di website resmi negara bahkan sudah berganti menjadi hitam. Sebuah status yang demikian gelap dan mencerminkan tingkat bahaya di level akut.
Anda musti serius melihat data-data begini, dan itulah yang kita lakukan.
Orang menyerbu semua kanal media sosial, mengekspresikan betapa kesalnya pada situasi pandemi, dan tentu saja juga betapa terpesonanya pada walikotanya yang membela warganya. Risma meraih popularitasnya sebagai orang yang bukan saja gemar mengamuk apa saja yang tak beres, melainkan juga turun tangan langsung (dalam pengertian harfiah) pada apa-apa saja yang lain yang juga belum beres.
Resep yang terakhir ini sering disebut dalam bahasa ‘blusukan’, atau ‘sidak’, atau yang lebih praktis dan terdengar musykil: ‘Risma menyapu jalanan’, ‘Bu Walikota berkantor di pinggir jalan’, ‘Risma menangis bersujud syukur’, dan sejenisnya.
Anda tak perlu berpikir kritis: bukankah turun langsungnya pemimpin memperlihatkan disfungsi para anak bawahannya? Karena pertanyaan itu bisa dijawab dengan pertanyaan juga: bukankah pemimpin tetap harus tahu langsung ihwal realitas apa yang terjadi di luar sana?
Meskipun para kelompok nyinyir juga tak kehabisan amunisi: ‘…tapi mengapa semua amuk harus disiapkan dulu di depan kamera…’. Begitulah kelompok nyinyir. Betapa gemar mereka mencari kesalahan.
Pemimpin harus didukung saja, bukan dicari kelemahannya. Mari bersatu mengabarkan yang positif-positif saja agar, sesuai imbauan JRX, ‘imun kita naek’.
Tapi ada juga satu hal yang menggelitik. Warga Surabaya, seperti juga manusia lain yang berdomisili di kota-kota besar, rajin bertukar laporan dan mengutuki betapa masih rendahnya ketidaksadaran warga. Jalan-jalan besar mungkin tampak sepi, tapi gang-gang kampung penuh bukan main. Betapa pasar masih ramai, pusat belanja diserbu, dan warung-warung diburu pembeli.
Tak terlalu sulit menduga ke mana arah laporan ini: kitalah, warga itu, yang rendah empatinya, apatis, dan tak mau diatur. Kita adalah subjek yang paling apes karena sudah goblok kok ya masih ngeyel mengadu nyawa tanpa ajian atau doa-doa tarikat.
Dan bersamaan dengan itu, negara menghilang dari wacana. Anda hanya akan mengingat jejaknya lewat amukan-amukan dan bantuan-bantuan temporer.
Orang lupa bahwa warga di jalanan sana sudah berbulan-bulan dipaksa oleh kampanye elitis #dirumahaja. Lupa bahwa #dirumahaja tak bisa menyelesaikan urusan tunggakan utang dan makan sehari-hari kelompok miskin.
Anda tak bisa mengandalkan ‘auman singa’ seperti pesilat tangguh di film Kungfu Hustle, tanpa juga secara sigap dan menyeluruh menanggung derita hidup orang-orang yang sudah terlalu sering kalah itu. Pernah dengar penghasilan tukang sol sepatu keliling? Setega apa kita menasihatinya untuk #dirumahaja tanpa bicara tentang masa depannya?
Amukan pemimpin adalah penting pada satu sisi. Kita tak perlu bicara tentang tuluskah atau pencitraankah. Tapi orang-orang miskin lebih perlu sebuah visi, yang dapat memandu ke mana hidupnya dibawa.
“Tapi kan negara sudah membantu? Sudah ada bantuan sosial juga toh? Cukup tidaknya ya harus diatur sendiri. Mereka kan sudah mandiri, sudah dewasa, ndak perlu diberi tau lagi lah agar bertanggungjawab pada hidupnya”
Itu kata kita-kita, sambil duduk nyaman di ruang yang dingin dan sofa yang empuk, sepulang kerja dari kantor dengan ‘protokol kesehatan’, dan setengah jam lagi menunggu jadwal TikTok harian.