
Semua ini gara-gara mas-mas Setarbak. Karena keisengan mereka memperbesar layar monitor CCTV untuk melihat dan memuja-muja kemolekan tubuh pelanggan wanita yang sedang asyik menikmati kopi produk kapitalis dan penambal gengsi itu. Setelah kejadian ini diketahui publik, perdebatan isu gender kembali mencuat ke permukaan, menjadi trending topic yang tak terelakkan. Netijen sibuk menguji materi dan menyebar twit mengenai siapa yang salah: yang ngintip atau yang pakai baju minim?
Kasus seperti ini bukan yang pertama kalinya. Sudah acap terjadi, bahkan membuat kita begah karena saking seringnya. Sudah capek rasanya diri ini mau membahas isu gender. Pembahasan gender seakan tak ada ujungnya, dan selalu memantik pertengkaran. Mereka yang setuju wanita harus menutup aurat versus mereka yang meminta laki-laki mengendalikan libidonya.
Misalkan kasus lain tentang istri yang membikinkan bekal untuk suaminya. Dalam kasus tersebut, banyak netijen berkomentar yang pada intinya berkata, bahwa thread viral “Bekal Buat Suami” telah menginjak-injak harga diri perempuan dan memposisikan perempuan sebatas babu rumah tangga. Dengan begitu tanggap, netijen segera membantu menghitung pendapatan yang mungkin bisa diterima sang istri jika bekerja, apabila tidak sibuk memasakkan makanan untuk suami.
Namun, tidak jarang perdebatan di kolom komentar tersebut justru menggeser cita-cita gerakan feminis sesungguhnya (baca: yang menginginkan kesetaraan gender). Kesan yang seringkali muncul – setidaknya bagi saya – dari perdebatan itu seakan-akan laki-laki harus dibasmi, hamil, mengurus anak, dan memasak di rumah adalah aktivitas yang haram dan ketinggalan zaman.
Walau demikian, kita memang tak boleh menyerah untuk mengedukasi pakdhe dan budhe kita, mengenai kesetaraan gender dan betapa muaknya kita dengan lelucon berbau seksis. Kita tetap harus optimis mengenai tatanan kehidupan baru (bukan new normal katanya pemerintah): di mana masyarakat kita sudah cukup memahami dan bisa berlaku adil dalam berhubungan intim, dan tentang betapa urgentnya meresmikan RUU PKS. Meski harapan ini rasanya masih terlalu jauh. Sebab kita harus ingat, bahwa kita sedang hidup di Indonesia dengan beragam konteks ruang dan waktunya saat ini. Kultur patriarki dan dominasi kepercayaan konservatif tentang perempuan harus menutup auratnya agar tak merangsang napsu pria masih terlalu kuat.
Kita harus sadar dan terbangun, bahwa kita masih berada di lingkungan yang akan menyalahkan pakaian korban perkosaan dan pelecehan seksual ketimbang menggali pikiran kotor pemerkosa itu. Tak jarang kita mendengar perempuan-perempuan yang hamil karena diperkosa, akhirnya dipaksa menikah demi menutupi aib keluarga.
Kamu semua boleh liberalis dan open minded, tapi jangan lupa bahwa kamu hidup di Indonesia yang yaaahh masih kayak gini. Butuh jalan yang puanjang untuk mengubah pola pikir ini, menghabiskan satu generasi terdahulu dan mendidik generasi Z dan seterusnya akan sex education yang baik dan benar. Ingat, penulis tak sedang berusaha bilang usaha ini tidak mungkin loh ya!
Kamu semua harus siap, jika berpendapat tentang isu kesetaraan gender, apapun bentuk dan konteks peristiwanya, akan mendapat nasihat “semoga kamu dapat hidayah”. Kamu juga harus siap, jika punya prinsip sex bebas dengan consent, akan dipandang rendah dan gagal jadi wanita. Pun kamu harus siaga jika tak bisa ikut tertawa di lelucon seksis teman-teman kantor, kamu akan dicap gak asik.
Kita hidup di negara yang hukum pelecehan dan kekerasan seksual masih belum dianggap penting dibawa pada prolegnas petinggi Senayan. Hukum yang lebih mudah menangkap pelaku pelecehan seksual jika sudah viral dan sudah ada aduan dari yang merasa dirugikan. Hukum yang cuma bisa menjerat pelaku yang ketahuan karena kontennya menyebar di media sosial: dengan UU ITE yang serba bisa dan maha benar itu.
Dan yang terpenting untuk kita sadari: kita bisa saja asyik berdebat di dunia maya, sementara petinggi-petinggi negeri ini tak menaruh peduli. Mereka sibuk mengejar kursi kepemimpinan dan menghitung keuntungan investasi asing. Mereka tidak menganggap suara-suara kita di medsos adalah wacana publik yang cukup signifikan dan layak diperhitungkan, untuk kemudian mengolah sistem pendidikan rakyat dan menjadikannya undang-undang.
Sementara ini, diskusi tentang gender dan segala cita-cita mulia lainnya masih menjadi sekadar algoritma yang berputar-putar di timeline media sosial bagai lingkaran setan.
*) Ilustrasi oleh: Tiara Sakti Ramadhani
Menggambar dari Ngagel. Pemanah dan penggemar BTS profesional. Bisa dihubungi melalui akun Instagram @tiarasr.art