
Suatu malam saya bermotor mengitari jalanan Surabaya. Rupanya, di masa-masa (yang dipaksakan dinamai dengan) new normal, tak sedikitpun jalan raya terlihat sepi. Alih-alih berdiam di rumah sesuai yang dianjurkan kelompok elit dan tubir, orang-orang tampak menikmati cangkruk dengan asyik. Sekilas pemandangan ini tak aneh buat saya, karena toh, bahkan ketika sewaktu-waktu perang meletus di Ahmad Yani pun, saya yakin masih ada segerombolan pemuda lagi ngopi di pojokan Injoko.
Tapi hal lain di luar perhitungan saya adalah para pesepeda yang berbaris ngonthel di sepanjang jalan. Tak tanggung-tanggung, dari bundaran Waru sampai Taman Bungkul, sisi kiri jalan raya selalu dipenuhi orang-orang bersepeda. Jenis sepedanya pun variatif, sebutlah apapun itu, mau sepeda gunung, fixie, sepeda keranjang, sampai sepeda lipat-jungkir walik-ngarep mburi, semua ada. Pertanyaan yang muncul di benak saya cuma satu: apa kondisi pandemi semacam ini bikin orang gatel beli sepeda?
Saat di internet ramai orang-orang gemas mencibir mereka yang bersepeda lalu upload instastory, “stay healthy” dengan foto gagang sepeda, istilah ‘cyclist dadakan’ muncul. Mereka menganggap bahwa orang yang sepedaan rame-rame sambil merekam teman sesamanya lagi ngos-ngosan ngonthel adalah sekelompok orang yang latah kayak pemerintah. “Cycling kok cuma pas Koronah. Kayak ane dong, cycling terus tiap pagi,” kata mereka, suatu siang saat baru bangun tidur. Umpatan ini diperpanjang lagi dengan anggapan bahwa para pesepeda ini tidak taat berbaris di jalan raya, maunya jalan dipake sendiri, kata mereka yang sehari-hari naik motor tapi mencaplok jalur sepeda.
Menyambungkan istilah ‘cyclist’ dengan ‘dadakan’ ini cukup aneh. Bayangkan betapa murka perasaan bapak atau pakdhe yang mengajari kita naik sepeda saat masih balita. Coba ingat, betapa lebih ngawurnya kala itu sampai harus menabrak pagar rumah, nyasak bonsai tetangga yang lagi imut-imutnya, bahkan menyerempet betis ibu-ibu jual gethuk yang saban kali lewat depan rumah—apa kabar ya beliau? Kita semua telah menjadi cyclist sejak dini. No debat.
Jika kita pengen mendefinisikan ‘dadakan’ sebagai ‘ikut-ikutan’ tren, tengoklah upaya orang-orang sok yang berusaha menyamakan diri dengan pemikir feminis bahwa istri tak seharusnya membuatkan bekal buat suami. Bahwa istri melayani suami dan ditempatkan dalam peran pekerja di dalam rumah adalah warisan patriarki yang dimaktubkan dalam berbagai dokumen baik itu negara atau agama. Salah besar, pokoknya, kalau sampai istri merasa bekal buat suami adalah tanda cinta dan bukannya gejala kapitalisme di dalam rumah tangga. Argumen paling akut ialah melakukan perhitungan gaji yang bisa diterima oleh seorang istri kala melakukan pekerjaan domestik, seperti mbeteti gurami, mengganti popok bayi, mencuci, dan lain-lain.
Maria Mies dalam bukunya Patriarchy & Accumulation on a World State, memang menderma konsep ‘Housewifization’ untuk menunjuk hidung kapitalisme dan patriarki secara langsung, atas pembagian peran domestik dan publik antara perempuan dan laki-laki yang sangat timpang. Ia mengatakan kalo istri menempati peran yang sama dengan seorang housewife, yang dibayar untuk melakukan segala jenis kegiatan rumah.
Konsep ini krusial dalam mengkritik posisi gender di rumah tangga, itu benar. Tapi mbok ya dipahami, ketika ada seorang perempuan mengunggah foto makanan dengan caption ‘bekal buat suami’, itu artinya kan memang si istri membuatkan, atau memberi reward berupa bekal pada suami, ya toh? Apa iya, ibu mereka nggak pernah membuatkan bekal sewaktu mereka lagi SD dan duit jajan cuma gopek?
Bos, saya yakin, kalo istri para petani nggak membawakan rentengan buat suaminya di sawah, nasib beras yang kita makan nggak akan ikhlas menambal kebocoran lambung kita yang lapar.
“Ih, bawa-bawa cinta. Tau nggak sih itu cuma dogma biar istri ikhlas melayani suami?”
Karepmu, feminis dadakan.
*) Ilustrasi oleh: Tiara Sakti Ramadhani
Menggambar dari Ngagel. Pemanah dan penggemar BTS profesional. Bisa dihubungi melalui akun Instagram @tiarasr.art.