
Oleh: Annisa Pinastika*
Beberapa waktu lalu, menjelang peringatan Muharram, jagat maya digemparkan dengan tangkapan layar Instagram Story aktris muda tanah air. Video berdurasi kurang dari lima belas detik tersebut menayangkan saat kekasih sang aktris (sebut saja Zara JKT48) menyentuh bagian vitalnya dengan sengaja.
Hal yang menjadi pergunjingan netijen ialah respon dari si aktris yang tidak menunjukkan penolakan atas tindakan kekasih. Malahan menunjukkan ekspresi senang dan meminta perbuatan tersebut diulangi. Jari jemari netizen tentu riuh membagikan ulang lengkap dengan komentar keji dan sumpah serapah.
Netizen maha benar. Tidak hanya mengunggah ulang story tersebut, mereka juga merundung akun orang tua dan saudara dari si aktris dengan kata-kata makian dan hinaan. Tanpa disadari, perilaku mereka telah mencerminkan kekerasan berbasis gender online (KBGO). Salah satu ciri ialah perusakan reputasi atau kredibilitas seseorang baik dengan berbagi data pribadi dengan tujuan merusak reputasi pengguna serta membuat komentar yang bernada menyerang, meremehkan, dengan maksud mencoreng reputasi seseorang (Kusuma dan Arum, 2019).
Fenomena KBGO sendiri mengalami peningkatan selama tiga tahun terakhir. Catahu Komnas Perempuan 2019 menunjukkan bahwa kekerasan jenis ini telah bertambah menjadi 98 kasus pada tahun 2018, meningkat dari tahun 2017 yang mencetak sebanyak 65 kasus dan tahun 2016 yang mencatat lima kasus.
Jika kita mengamati dengan seksama, pembaca yang budiman, kegiatan KBGO, khususnya pada konteks peristiwa ini, sebenarnya dilakukan netizen yang senang melihat orang lain susah. Fenomena kesenangan ketika melihat orang lain sedang bernasib buruk dikenal dengan sebutan “schadenfreude” (van Dijk, Ouwerkerk, van Koningsbruggen & Wesseling, 2011).
Aurelia (2019) memaparkan sebuah penelitian dalam makalah “Schadenfreude Deconstructed and reconstructed: A Tripartite Motivational Model” dalam New Ideas of Psychology. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa responden puas melihat orang sukses sedang mengalami kegagalan dan menganggap hal tersebut layak dialami oleh orang yang “high achiever”. Dengan begitu, netizen insecure tentu merasa jaya bak di singgasana ketika melihat aktris layar lebar bertalenta di usia muda, dulunya anggota idol yang jago menyanyi dan menari, penyandang gelar brand ambassador produk-produk terkenal, kini tercoreng nama baiknya karena satu konten.
Alih-alih merasa simpati, beberapa golongan justru bangga menjadi agen pelaku kekerasan berbasis gender online dengan berlomba-lomba mereproduksi konten tersebut. Bahkan akun-akun gosip kawakan dan media massa tanpa rasa bersalah memonetisasi video sang aktris yang masih di bawah umur.
Sesungguhnya rasa iri yang memicu schadenfreude mendorong kita untuk bertindak sebagai pelaku kekerasan. Kita lupa bahwasannya setiap orang memiliki kesalahan dan dosa yang berbeda-beda. Apesnya saja si aktris yang-yangan di depan kamera dan tersebar di sosial media. Padahal belum tentu para tukang bully online itu tidak melakukan hal yang serupa. Wong digrepe itu enak, kok!
Mengakhiri tulisan ini, penulis hanya bisa berpesan pada netizen: mbok ya kalau ada skandal, melibatkan anak di bawah umur, jangan lantas senang dan nyumpah-nyumpahin sampe ke keluarganya segala! Malu, lah sama umur! Mending energinya dipakai buat bercocok tanam atau bisnis makanan rumahan gitu, lho!
Melihat tangkah netizen seperti ini justru makin membuat penulis yakin bahwa sekarang masyarakat lebih takut melihat pasangan saling mencinta daripada menyakiti perasaan sesama manusia.
*)Perempuan yang menjuluki diri “Ratu Mahabencana”. Enggan mengklaim dirinya sebagai feminis meski suka menulis tentang feminisme.
*) Ilustrasi oleh: Tiara Sakti Ramadhani
Menggambar dari Ngagel. Pemanah dan penggemar BTS profesional. Bisa dihubungi melalui akun Instagram @tiarasr.art.