
Film ini sebetulnya sederhana saja. Dalam 32 menit, alur ceritanya adalah dialog ibu-ibu di atas truk dalam perjalanan dari desa ke kota. Tujuan truk itu juga sederhana: tilik atau menjenguk Bu Lurah yang sedang sakit keras di rumah sakit.
Bu Tejo, tokoh sentral dalam cerita itu, mendadak jadi idola arek-arek. Namanya disebut di banyak percakapan baik di dunia maya maupun dunia nyata. Kemunculannya di film “Tilik” viral dan ada banyak influencer yang mempromosikannya di media sosial. Padahal karya garapan Ravacana Films ini sudah diproduksi 2018 lalu.
Bagaimana tidak, kemampuan akting Siti Fauziah sebagai pemeran utama Bu Tejo ini memang sangat memukau. Ekspresi wajah dan gestur tubuhnya sangat mewakili betapa nyinyire emak-emak kampung, yang tidak pernah lelah membahas A-Z urusan orang lain.
Film ini lantas mengulik emosi penonton, akibat tema ceritanya yang sangat relate dengan kehidupan sehari-hari. Perjalanan itu mungkin jauh dan menyusahkan. Harus berdiri di atas truk, tergoncang karena jalanan yang tidak rata, masuk angin, sampai harus menunduk ketika melewati pos polisi biar tidak ditilang. Tapi, perjalanan yang melelahkan itu tak sebanding dengan betapa asyiknya gibah rumah tangga tetangga.
Mungkin, premis cerita inilah yang kemudian berhasil menyihir penonton dan khalayak ramai, sampai mengeluarkan quote yg kini makin lacur penggunaannya: “kita semua adalah Bu Tejo ketika lagi gibah”. Artinya, akting Bu Tejo sebagai tokoh sentral dan keseluruhan jalan cerita Tilik ini mampu membuat penonton melakukan refleksi terhadap diri sendiri. Membuat penonton merasa “aku juga kayak gitu kalau gosip, mulutnya jahat banget”.
Menurut hemat penulis, sineas sudah berhasil mencapai tujuan terwahid dari penciptaan karya: membuat penikmatnya merenung, berpikir, dan berfantasi dalam batinnya.
Tapi, sebagaimana karya, kan gak semuanya mengilhami cerita seperti yang saya tanggapi. Tak selamanya film Tilik banjir pujian. Lah wong pada dasarnya kita ini berasal dari beragam latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, dan budaya yang berbeda-beda. Tentu cara memandang dan menikmati karya juga beda selera.
Baru-baru ini, ada seorang mas-mas yang berkomentar atas buruknya kualitas ending film Tilik. Ia menganggap film Tilik gagal mengajarkan moral value, malah mendukung stigma perempuan tukang gosip, dan abai memberi solusi.
Bukan media sosial namanya kalau pendapat seperti mas ini tidak di-counter. Pendapat yang “lain” dari arus yang memuja-muja kemampuan sinematik dan konten cerita Tilik, langsung dibalasi netijen secara kompak.
Bagi netijen yang kontra dengan pendapat si mas-mas dengan akun Twitter @RoryAsyari ini mengatakan, bukan tugas film untuk mengajarkan nilai moral. Ada yang menghujat mungkin Mas Rory gak ngerti gaya bercerita satire. Ada pula yang menyuruh sebaiknya Mas Rory ini nonton film azab Ind*siar yang pesan moral agama dan sosialnya jelas.
Kali ini, saya, penulis, harus agak setuju dengan kebanyakan netijen itu. Mas Rory perlu tahu, bahwa Wahyu Agung Prasetyo sebagai sutradara hanya bercita-cita sederhana, menampilkan tradisi tilik di pedesaan. Warga perkampungan layaknya begitu, kerjasama menyewa kendaraan apapun –sekalipun truk pengangkut pasir – yang penting slamet sampai tujuan.
Mas Rory perlu tahu, kalau sekelompok ibu-ibu yang melakukan perjalanan dengan truk itu ibaratnya juga jalan hidup kita. Kadang suka, kadang duka. Kadang bisa bekerjasama antar-wanita, saling mengumpulkan uang, dijadikan satu amplop, agar ada “cindera mata” yang bisa dibawa untuk meringankan beban orang yang sedang ditiliki. Kadang gosip bareng, di mana bahan pembicaraan itu bisa menyatukan, tapi bisa juga bikin baper dan bikin gontok-gontokan.
Realita-realita ini ditangkap, diterjemahkan, dan digambarkan melalui serangkaian karya audio visual. Apa adanya, dengan sedikit sentuhan hiperbola tentu saja demi kebutuhan dramatisasi.
Mas Rory perlu tahu, memang ada sejuta sudut pandang yang bisa digambarkan pekerja seni untuk menggambarkan wanita. Mulai dari lukisan tubuh wanita karya pelukis-pelukis handal dunia, sampai karya film pendek festival macem Tilik.
Di Tilik, ada beragam perempuan yang coba digambarkan. Perempuan single dan punya jabatan macam Bu Lurah, yang dianggap hidupnya tak proporsional, yang dipandang penyebab penyakitnya adalah karena ulah suaminya ataupun ketidakmampuannya sebagai seorang wanita menjalani hidup.
Atau perempuan single, muda, pandai, dan memiliki karir baik, yang tak segera kunjung menikah dan kepergok jalan-jalan dengan om-om, pria yang jauh lebih tua. Yang otomatis dipandang sebelah mata, dianggap perempuan gak bener, atau pelakor macem drama koriyah yang populer itu.
Ada pilihan-pilihan hidup wanita yang dikenai standar ganda. Perempuan harus kuat, berkarya, punya karir baik, tapi juga harus santun, mengurusi keluarga, dan tak bebas dari stigma masyarakat atas kemerdekaan pilihan hidupnya sendiri.
Masih ada buanyak hal yang bisa diangkat dari sisi hidup wanita. Belum lagi sisi perempuan yang diberi kemampuan psikologis tersendiri oleh Tuhan: perhatian akan hal-hal detil.
Nih contoh aja ya, warung kelontong di sebelah kos saya dulu pegawainya mas-mas, barangnya gak pernah lengkap. Mau nyari margarin, habis. Nyari telur, kosong. Nyari air mineral dengan merek selain Aq*a biar gak mahal, dibilang belum dikirim sama distributor. Ada saja alasannya. Tapi sekarang, begitu ada mbak-mbak yang jadi penjaga toko, barang di warung selalu lengkap, bahkan bertambah variasinya. Kulkas isi minuman dingin sekarang jauh lebih bewarna. Dan aneka menu es krim Aic* juga lengkap tersedia di freezer.
Cerita kecil yang nyata dan ada di kehidupan sekitar kita tentang wanita. Kalau segi wanita yang ini, sepertinya belum ada yang bikin filmnya. Mungkin ada sineas yang tertarik? Saya volunteer jadi penyumbang ide cerita nih!
Hal lain yang mungkin terlewat diulas: film ini didanai Dinas Kebudayaan DIY. Ini adalah salah satu pertanda bahwa pemerintah mulai mendukung pekerja seni dengan segala idealismenya. Pekerja seni gak perlu jadi toa, melulu memerankan juru bicara prestasi yang mendanainya, tapi justru menyajikan kritik keras.
Ingat kan scene Bu Tejo ngasih uang ke Gotrek, driver truk, dengan sepik-sepik biar suaminya “direwangi” jadi lurah? Bahwa untuk jadi pemimpin, mungkin perlu “pemulus”. Ini kritik pada budaya pemerintah, yang juga dimasukkan secara mulus ke adegan cerita, tanpa merusak pula intisari tema hoax yang hendak diangkat di dalamnya.
Dan untuk gejala soal suap-menyuap ini, sudah akut dan menyerang siapa saja, mau pria ataupun wanita.
*) Ilustrasi oleh: Brigitha Aidha Jannah
Hobi fotografi, menggambar, dan fangirling band koriyah. Galeri karya bisa diintip melalui akun Instagram @50shadecolor.