
Oleh: Jen*
Di usiaku yang tak lagi muda (cielah), aku masih berusaha menempatkan diri sebagai seorang perempuan yang baik di depan tetangga. Karena apapun yang aku lakukan di depan merek dapat menjadi ancaman bisik.
Hingga saat ini, aku juga masih tidak memahami dan terkadang bosan dengan segala peraturan dan norma yang disematkan kepada perempuan untuk memenuhi standar mereka. Entah itu dalam berpakaian hingga perilaku, dan bahkan sampai urusan menstruasi!
Berani taruhan, hampir semua perempuan di sekitarku tidak pernah punya kesempatan untuk bertanya atau membuka topik seputar menstruasi kepada ibu mereka secara dalam dan luas. Termasuk tentang hal-hal yang sebetulnya sangat dasar.
Salah satunya saja, yang sampai saat masih jadi topik hot: apa iya pembalut itu satu-satunya alat sanitasi yang membantu menampung darah menstruasi? Apakah menjadi salah jika kita membuat pilihan tersendiri untuk menolak penggunaan pembalut?
Beberapa tahun belakangan ini, pembahasan mengenai alternatif pembalut, khususnya menstrual cup, sedang ramai diperbincangkan. Menstrual cup disebut sebagai solusi ramah lingkungan untuk mengurangi jumlah sampah pembalut sekali pakai yang susah terurai. Hal ini lantas mengundang pro dan kontra dari beberapa kelompok, sebut saja SJW dan netijen awam yang budiman.
Lucunya di Endonesa, pendapat kontra terpopuler justru tidak mempersoalkan teknologi cawan menstruasi atau implikasinya terhadap kesehatan, melainkan lebih pada ketakutan rusaknya the-so–called virginity as something holy that women should keep. Netijen umumnya mengkhawatirkan hilangnya selaput dara karena penggunaan cawan, terlebih dan terutama pada mereka yang belum melakukan hubungan seksual.
Reaksi tersebut teralamatkan dengan bermacam nada, mulai dari, “Haduh aku kok jadi ngeri sendiri ya masukin benda asing ke dalam sana,” hingga khawatir vagina akan longgar dan tidak rapet lagi karena memakai cawan ini. Padahal anggapan soal rapet atau tidaknya vagina sendiri masih merupakan salah kaprah, dengan logika bodoh sederhana bahwa “rapet” berarti masih perawan dan “longgar” berarti sudah tidak perawan. Parahnya, hal ini dipercayai oleh masyarakat kita secara turun-temurun.
Sekadar mengingatkan, nih. Vagina itu anggota tubuh yang bisa diibaratkan seperti “karet” karena sifatnya yang elastis. Seusai mengendur atau membuka, vagina bisa kembali ke bentuk semula meskipun memerlukan waktu.
Perlu diingat pula, bentuk vagina setiap perempuan tidaklah sama. Bentuk ini sudah terbawa sejak lahir. Wanita yang sudah pernah melahirkan dan yang belum pernah melahirkan juga biasanya memiliki ukuran vagina yang berbeda. Inilah alasan mengapa ada beragam ukuran cawan menstruasi tersedia, yang mengacu pada keragaman bentuk vagina itu sendiri.
Penulis jadi teringat dengan sebuah tayangan YouTube, salah satu seri TedTalk yang edgy itu. Judulnya The Virginity Fraud. Dalam video tersebut, kita bisa lebih memahami “kebenaran yang hakiki” tentang selaput dara. Nina Brochmann dan Ellen Støkken Dahl, sebagai pembicara, mengejawantahkan bagaimana masyarakat bisa menjadi terobsesi dengan hal yang mungkin saja tidak pernah ada pada tubuh seorang perempuan. Karena ternyata tidak semua perempuan terlahir dengan selaput dara!
Sedihnya, obsesi budaya kita tentang daerah kewanitaan ini kini telah menjadi sebuah cara untuk merendahkan dan membuat kaum perempuan malu untuk mencintai tubuh mereka sendiri. Although to be honest, your penis no matter how big it is isn’t gonna break our Ms. V, duh!
Maka dari itu, tante dan ibu-ibu sekalian, om dan bapak-bapak, pada intinya mari kita belajar bersama tak cepat-cepat memberi justifikasi pada suatu objek. Galilah dulu segala sesuatunya dari segi ilmiahnya, dan hargai otoritas tubuh seseorang!
Hidup di tengah masyarakat yang cukup judgemental on daily basis memanglah ribet. Mau hidup wajar dan beralih kepada pilihan yang lebih sehat saja, masih harus minta izin kepada netijen sekalian—yang kalau diturutin terus bisa bikin koleng. Huft!
*) Mahasiswa akhir (zaman) pengabdi BTS yang merintis jadi aktipis feminis.
*) Ilustrasi oleh: Brigitha Aidha Jannah
Hobi fotografi, menggambar, dan fangirling band koriyah. Galeri karya bisa diintip melalui akun Instagram @50shadecolor.