Kali ini kita bahas film yang sedang happening bingits. Mungkin penyebab ke-viral-annya adalah antara karena kalian ingin melengkapi puzzle cerita Marvel Cinematic Universe, atau karena udah kangen sensasi nonton bioskop setelah berbulan-bulan PPKM. Perbedaannya memang tipis.
“Shang Chi and the Legend of the Ten Rings” memulai kisah pada Xu Wenwu alias Mandarin (kita harap kalian belum lupa villain di Iron Man 3), pemilik dan penguasa kekuatan Ten Rings. Selama seribu tahun, ia berusaha menguasai dunia, sampai akhirnya ambisi itu buyar karena jatuh cinta pada seorang penjaga gerbang bernama Ying Li dari desa magis Ta Lo. Keduanya menikah dan dikarunia 2 orang anak: Shang Chi dan Xia Ling.
Singkat cerita, Ying Li, ibunya Shang Chi meninggal karena dibunuh musuh Mandarin di masa lalu. Tidak terima dengan kepergian istrinya, Mandarin dibayang-banyangi suara mistis kekuatan jahat yang menyerupai istrinya. Mandarin berusaha membangunkan kembali kekuatan jahat yang lama tertidur, demi menyelamatkan istrinya yang sebenarnya cuma ada di bayang-bayangnya (mungkin doi susah move-on, sama kayak kamu).
Nah, cerita ini jadi seru karena Shang Chi, si tokoh protagonis berusaha menghalangi bapaknya untuk membangunkan kekuatan jahat itu. Tentu saja tujuannya sama seperti format film superhero pada umumnya: saving the world. Karena kekuatan jahat itu bisa mengambil arwah manusia sak-dunya.
Satu hal yang melintas di benak saya mulai dari sebelum, selama, dan sesudah nonton film ini adalah: pinter, ya, Marvel merebut hati orang Asia!
Pertama, dengan mengangkat tema keluarga. Inti konflik film ini jelas sekali menunjukkan konflik keluarga antara ayah-ibu, yang berbeda karakter dan latar belakang, dan 2 anaknya.
Format cerita keluarga kayak gini gak banyak dipakai oleh Marvel. Kita gak pernah tahu background keluarga Captain America misalnya, Avengers pertama. Siapa bapak-ibunya, apa kerjaan mereka, hanya Tuhan dan penulis cerita yang tahu. Demikian pula Black Widow, sebelum akhirnya tema konsep keluarga diangkat di film barunya tahun ini.
Ini semua karena budaya barat, pada umumnya, tidak familiar dengan keluarga sebagai poros hidup mereka. Apa yang menjadikan mereka berhasil ya semata karena potensi dan perjuangan diri sendiri. Pandangan hidup ini, beda banget sama kita, orang Asia. Keluarga adalah fokus kehidupan, yang membentuk ‘siapa diri kita’ dan ‘gimana cara kita melihat dunia’.
Budaya ketimuran, kebanyakan, menjunjung tinggi bagaimana anak selayaknya menjaga nama baik keluarga dan berbakti pada orang tuanya (mau se-bajingan apapun sifat mereka). Poin ini sangat banyak nampak pada alur cerita. Karakter Shang Chi dibentuk oleh percampuran sisi dingin, tegas, dan ambisius bapaknya, dengan sisi lemah lembut tapi kuat dari ibunya.
Buanyak juga adegan menyentuh seperti flashback Shang Chi dan adik perempuannya ke masa lalu, saat bersatu sebagai keluarga (ideal). Sampai-sampai memori masa lalu itu, menggagalkan niatan Shang Chi buat bunuh bapaknya waktu beradu kekuatan di klimaks cerita. Semua karena Shang Chi ingat, sebesar apapun dendamnya, dia tetap menghormati seorang ayah. Khas sekali orang Asia, bukan? Alias, pinter juga nih Marvel bikin mewek penonton.
Kedua, dengan memainkan isu kesetaraan gender. Di Asia ini, laki-laki cenderung mendominasi ruang dan kekuasaan. Perempuan sulit dapat porsi dan kesempatan mengembangkan potensi. Meminjam kalimat adik perempuannya Shang Chi: “kamu cukup anggukkan kepala dan diam, karena kalaupun kamu ngomong, kamu gak bakal didengarkan dan gak dianggap ada”.
Ya, isu ini, pembaca tahu, sudah banyak diperjuangkan oleh SJW-SJW feminis kita.
Tapi, film ini juga tidak buta dengan kenyataan. Walaupun perlahan mulai diakui, perempuan tetap harus berjuang untuk bisa stand-out.
Xia Ling tidak mendapat peran utama di film ini. Itu poin yang harus kita catat. Ia adalah supporting character.
Lalu, bagaimana nasibnya dalam cerita ini? Xia Ling harus belajar kemampuan bela diri selama belasan tahun dalam diam, bukan latihan bareng sama laki-laki lainnya. Dia harus meniti karir dulu untuk bisa sehebat kakak laki-lakinya, yang dari awal sudah dapat privilege kesempatan belajar. Tokoh perempuan yang berjuang sendiri, tanpa bantuan siapa pun.
Penulis adalah orang yang tidak membaca komik originnya, jadi pengetahuan soal bagaimana Xia Ling diceritakan tentu sangat terbatas. Tetapi dengan penggambaran yang ada di film ini, tentu bisa cukup menyimpulkan bagaimana Marvel menarik hati orang Asia, dengan memberi porsi bagi perempuan, yang selama ini cuma ada di belakang layar.
Ketiga, bermain dengan naga. Kayaknya Asia dan naga itu dua sejoli yang susah dipisahkan. Setidaknya dalam sudut pandang pembuat film.
Artinya, orang Asia selalu direpresentasikan sebagai masyarakat yang percaya magical atau untagible things: kepercayaan pada kekuatan yang lebih besar dari dirinya. Cara penggambaran yang paling gampang ya dengan hewan mitologi, naga, favorit orang Asia.
Ini bukan pertama kalinya Disney memakai naga. Dalam versi animasi kartun, Mulan (1998) juga punya naga, walaupun naganya cupu. Terbaru, Raya juga menampilkan naga (yang lebih mirip naga Barbie) (Baca lagi: “Rayu Sang Raya pada Asia Tenggara”).
Jadi, kurang afdol dong rasanya, jika Shang Chi yang sangat berbudaya Tionghoa ini gak ada adegan naga-nagaan. Kekuatan baik dan kekuatan jahat bukan digambarkan sebagai manusia, tapi menjelma dalam rupa naga.
Oh ya, sebagai tambahan, buat menarik perhatian saya dan anda untuk nonton Shang Chi, Marvel juga menggandeng Rich Brian dan Niki buat jadi pengisi soundtrack film ini. Lengkap sudah strategi mereka menarik hati orang Asia.
Belum lagi, banyak sekali percakapan di film yang menggunakan Bahasa Mandarin. Semua martial arts yang dipakai juga sangat Asia timur, mulai dari wingchun sampai taichi (dan barangkali kombinasi lainnya).
Sejumlah unsur yang sangat Asia dipakai dengan cerdas, buat menenangkan dan mendekatkan cerita ke kita-kita, para penikmat film berkulit kuning ke sawo matang ini (atau lebih tepatnya jadi konsumen, sasaran pasar belaka).