Nilai yang Telah Lama Hilang Itu Bernama ‘Kesopanan

Rachel Vennya, Buna kita semua, terbukti bersalah karena kabur dari karantina dan menyuap petugas satgas dan kroni-kroninya. Meski cukup fatal, kita semua tahu, Rachel mendapat hukuman  hanya penjara 4 bulan, sesuai vonis hakim tanggal 10 Desember lalu.

Hukuman ini memang sudah hasil potongan diskon seperti layaknya department store saat akhir tahun. Kata hakim, karena Rachel, pacarnya, dan manajernya sebagai terdakwa bersikap kooperatif, tidak berbelit-belit, dan SOPAN.

Banyak yang kemudian menghujat, menganggap hukuman ini terlalu ringan untuk orang yang dengan seenaknya melanggar peraturan dan merasa bisa membeli hukum dengan uang.

Di satu sisi, fans garis keras inpluenser ini bersyukur, sebab idolanya tak perlu menanggung kesusahan yang terlalu berat. Buna berhak bahagia, katanya.

Sementara pihak lain yang netral-netral aja, gak ngefans ataupun gak benci-benci banget, lebih suka menyebar meme “Rachel sopan ke Hakim”, yang dikaitkan dengan nama “Hakim” mantan suami Rachel. Meme ini memang lucu, tapi sekaligus bisa kita simpulkeun menjadi kritik pedas netijen mahabenar di dunia maya. Sebab hukum di Indonesia ini, apapun bentuk dan latar belakang kasusnya, memang lucu dan selalu meme-able.

Tapi, yang perlu kita perhatikan di sini adalah soal SOPAN. Bagaimana bisa aspek itu begitu penting, dan disebut-sebut hakim dalam persidangan Buna, hingga meringankan hukuman?

Hukum itu adil. Ada hal yang bisa memberatkan, tapi ada juga yang bisa meringankan. Berdasarkan penelusuran penulis ke Mbah Gugel, ada beberapa poin yang bisa meringankan hukuman pidana seperti kasus Mbak Rachel ini. Di antaranya ada terdakwa belum pernah dihukum, merupakan tulang punggung keluarga, sudah berusia lanjut dan sakit-sakitan, mengakui dan menyesali perbuatan, dan BERSIKAP SOPAN.

Kita yang awam soal hukum ini, sebaiknya tak perlu menentang peraturan dan pertimbangan mengapa kesopanan termasuk dalam kriteria peringanan hukuman. Kita juga tidak mungkin dong, menanyakan, “Memang cara menilai kesopanan terdakwa tuh gimana?”. Karena kita bukan jaksa, pengacara, apalagi hakim.

Baca Juga :  Surabaya Zona Hitam dan Warga yang Mencintai ‘Amuk’ Pemimpinnya

Tapi, kita masih punya celah untuk merenungkan: jika sopan dianggap sikap yang penting dan dipertimbangkan, ke mana memangnya ia selama ini?

Kata bule-bule yang melancong ke negara ini, rakjat Indonesia ini adalah yang paling ramah dan sopan. Bahkan kesopanan sudah jadi brand image, stigma yang melekat pada kita di mata dunia. Lantas mengapa kesopanan kini malah menjadi aspek yang diapresiasi tinggi, hingga dalam meja hijau persidangan? Bukankah semua orang memang harus sopan pada siapapun dan dalam kondisi apapun?

Gak usah jauh-jauh dan ndakik-ndakik. Kita ambil contoh kasus yang paling dekat. Kalau kamu namu ke rumah camer, kalau kamu sopan, sudah pasti mampu meluluhlantakkan tembok pertama. Waktu doi dan orang tuanya lagi ngobrol internal keluarga dia pasti akan bilang, “Anaknya baik kok, sopan”.

Kita kini berada pada titik takjub ketika ada orang lain yang sopan. Seakan “sopan” adalah barang langka.

Saya pun jadi ingat masa-masa kuliah. Di kampus, ada banner besar yang dipasang di jalanan masuk kelas. Isinya adalah imbauan, “Etika Berkomunikasi dengan Dosen via Whatsapp”. Kalau di jaman serba online seperti sekarang, mungkin imbauan ini ditransfer ke dalam bentuk video tutorial di Youtube. Etika berbicara, yang sudah kita latih dan lakukan sejak bayi, bahkan harus selalu diajarkan dan diingatkan. Kesopanan kita dengan seseorang bahkan kini menjadi softskill, nilai plus yang dipertimbangkan bos saat merekrut karyawan di perusahaannya.

Kemanakah fungsi keluarga sebagai pendidik utama dan pertama ini? Bukankah dari proses sosial dalam keluarga, kesopanan itu jadi aspek yang otomatis terbentuk, dan lantas dibawa ke mana pun manusia ini hidup di bumi?

Apakah memang benar, masyarakat seperti kita ini, memang mudah lupa? Termasuk lupa ajaran dan caranya sopan?

Selama kesopanan dalam konteks formal maupun informal masih jadi barang yang diapresiasi lebih, maka selama itu pula menjadi pembuktian bahwa kita telah lama kehilangan kesopanan itu.