Dari judul tulisan ini, kita sudah tahu pembahasan apa yang hendak diulik. Tentu saja mbak-mbak stafsus milenial kepresidenan, yang seharian penuh sempat menduduki takhta trending topic Twitter kemarin.
Asal-muasal gonjang-ganjing dunia netijen ini adalah saat Putri Indahsari Tanjung memberikan motivasi kiat sukses dalam sebuah seminar di platform beken. Kapasitasnya selaku speaker tentu saja adalah sebagai CEO di usianya yang baru seperempat abad.
Sebenarnya, tanpa melihat lebih jauh apa isi pidatonya, netijen–sebagaimana kita tahu–sudah antipati duluan. Status Mbak Putri sebagai putra mahkota Tendean, dianggap tak layak memberi tips buat anak muda lain soal bagaimana caranya berbisnis.
Apalagi ditambah dengan pernyataan Putri dalam seminar tersebut. Katanya, dia pernah merugi 800 juta karena berbisnis. Nah, cerita inilah yang menuai beragam komentar liar bertebaran.
“Putri rugi 800 juta mengurung diri di kamar, kita rugi 800 juta mengurung diri di liang kubur.”
Dan tulisan dengan nada serupa kalimat di atas juga berderet tak terhitung banyaknya. Dengan suatu kesimpulan intensi: betapa di atas langitnya Mbak Putri ini, dengan kiat sukses dan cerita kegagalannya yang sama sekali nggak relate dan nggak bisa kita praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tapi, penulis kok punya pendapat yang berbeda ya. Semua orang di dunia ini, selain balita dan orang gangguan jiwa, punya masalah dan cara mengatasi permasalahan masing-masing. Tingkat kesulitan tiap masalah tentu nggak bisa dibanding-bandingkan layaknya level dalam permainan game. Hal-hal yang buat kita remeh temeh dan kita ketawain, buat orang lain bisa jadi beban yang merenggut segala sukacita dan semangat buat hidup.
Orang bunuh diri karena asmara. Orang diantar ke Rumah Sakit Jiwa Menur karena gagal nyaleg. Semua reaksi ini wajar dan sangat manusiawi. Mungkin kita tidak bisa memahami apa yang mereka rasakan, karena nggak pernah jadi dia.
Putri Tanjung kehilangan uang 800 juta bagi kita lucu dan dijadikan bahan bercanda getir buat teman-teman tongkrongan. Tapi bagi dia, itu bisa jadi tamparan keras dan pelajaran hidup buat masa depannya sebagai pengusaha. Barangkali, Pembaca sekalian, uang 800 juta itu bukan soal “nanti bisa dicari lagi” atau “bisa diganti bapaknya”. Tapi 800 juta itu nilainya adalah perjuangan, proses, kepercayaan, dan macam-macam kategori tak benda yang nggak bisa diganti dengan apapun.
Mungkin juga, ada satu momen dalam hidup Mbak Putri ini, di mana dia pengen merasakan hidup kayak kita-kita rakyat jelata ini, yang setelah lulus kuliah harus repot-repot bikin CV kreatif, psikotes, dan wawancara user, yang kalau mandi masih pakai gayung bentuk love, atau yang pas mau makan eh magicom lupa dicolok. Mungkin ada satu waktu di hidup Mbak Putri, di mana dia merasa capek juga jadi anak konglomerat dan dicap “punya banyak privilege”. Dan mungkin, ini jadi problem hidup yang juga bikin Mbak Putri ini overthinking, ya kayak kita-kita ini.
Sama dengan betapa keselnya kita kalau ada barang yang dipinjam teman tapi nggak dikembalikan. Ini bukan soal berapa harga barangnya, atau kita bisa beli lagi barang yang sama. Bisa jadi ada unsur kenangan karena dibeli dari gaji pertama, atau barang pemberian orang tersayang, kan?
Kalau kita masih suka kesel sama orang-orang yang, ketika kita curhat, malah bilang “masih lebih parah aku” dan dia malah curhat balik, mungkin ada baiknya kita sendiri mengurangi kebiasaan nyinyir terhadap hidup orang lain.
Ciye pesan moral.