Sebuah Overthinking karena Tas Belanja

Di satu waktu, saya sempat terhenyak di tengah konsentrasi mem-browsing sebuah marketplace daring. Kala itu, produk yang sedang terbuka di layar hengpong saya adalah reusable shopping bag alias tas belanja ramah lingkungan.

Tas belanja ini menurut saya keren. Selain ukurannya besar, berbahan semacam parasut sehingga tidak tembus air, dan—menurut review pembeli sebelumnya—jahitannya rapi serta kuat. Dan yang lebih spesial lagi, gambarnya bisa customized alias didesain menurut kemauan pembeli.

Bagi saya yang waktu itu sedang mencari kado spesial nan unik untuk ulang tahun sahabat saya, tentu tas belanja ini adalah pilihan super tepat. Di bayangan saya, setelah mendapat kado ini, teman saya nantinya bisa belanja ke mana-mana bawa tas ini saja.

Dia tidak perlu pakai kantong plastik yang sekali pakai dan akan lama terurai setelah dibuang. Desainnya juga akan personalized, dengan warna dan gambar sesuai kesukaannya. Sehingga dia tidak perlu menenteng-nenteng tas belanja bertuliskan merk produk atau judul seminar.

Hampir saja men-check-out tas belanja itu, saya tiba-tiba terhenti. Sebuah ilham iseng turun membisik pada batin, “Kalau memang niatnya ramah lingkungan, kenapa harus beli produk baru? Bukankah kalau kamu pesan tas ini, otomatis penjualnya justru melahirkan barang baru ke dunia ini?

Seketika saya jadi teringat kejadian di sebuah supermarket beberapa hari sebelumnya. Sebagai orang yang cukup terbiasa memakai tas belanja pribadi, saya menyodorkan tas bawaan sendiri pada kasir saat hendak membayar belanjaan.

Melihat tas itu, mbak kasir berujar dengan sumringah, “Kakak suka pakai tas belanja sendiri ya? Kami juga punya tas keluaran kami sendiri lho. Nggak sekalian juga?”

Tangan si mbak lalu menunjuk rak tidak jauh darinya yang penuh dengan deretan shopping bag berbagai ukuran dan warna. Bahkan ada satu-dua deret yang bentuknya sedikit berbeda, lebih kotak atau kubus, sepertinya supaya bisa ditempati barang yang lebar-lebar.

Tentu saja saya bilang tidak perlu, karena sudah punya tas sendiri. Yang mana si mbak ternyata lanjut mempersuasi, “Warnanya lucu-lucu lho kak. Harganya juga cuma dari dua belas ribu aja.”

Itu ingatan pertama. Ingatan kedua datangnya dari belasan tahun lalu, di mana saya yang masih kicik diajak belanja dengan mama saya ke sebuah supermarket (lagi-lagi).

Waktu itu saya tanya ke mama, “Ma, sereal ini kok ada di sini? Di G**** juga ada. Di H*** juga ada. Kok ada di mana-mana?”

Mama menjawab kira-kira begini, “Iya. Mereka sama-sama jualan. Jadi barang yang sama bisa ada di mana-mana. Biar enak juga buat kita. Kalau kita perlu beli di dekat rumah atau di dekat sekolah atau di luar kota, kita bisa beli.”

Saya yang pastinya belum kenalan dengan konsep ‘bisnis retail’ lanjut bertanya, “Tapi habis aku ambil, kok barangnya mesti sisa banyak ya? Kenapa nggak jual dikit-dikit aja biar nggak sisa? Kalau kebanyakan nanti dibuang ke mana?”

“Orang kan ada banyak, nak. Barangnya nggak mungkin sisa. Kamu cuma nggak pernah ketemu sama orang lain yang beli serealmu juga. Nanti habis kita pulang, ada orang lain datang. Mereka beli serealmu juga, beli deterjennya mama juga.” Demikian mama saya menutup percakapan. Gambaran simpel itu lalu perlahan memudar seiring saya tambah tuwir.

Saat menjadi remaja rodhok-rodhok emo, saya pernah sakit hati saat membaca berita tentang gundukan sampah baju yang menggunung di berbagai negara di dunia. Di mana perusahaan pakaian merasa lebih baik kehilangan barang, dengan dibuang atau dimusnahkan, daripada membagikan ke orang yang butuh karena bisa berpengaruh pada brand image dan harga.

Baca Juga :  Mengetahui Sighat dalam Akad Nikah Beserta Penjelasannya

Menjadi lebih dewasa lagi, sayapun mendengar-dengar bahwa makanan kadaluarsa ada yang disalurkan ke daerah-daerah tertentu. Alasannya bisa karena ada orang-orang yang sangat butuh dengan makanan tersebut sehingga lebih toleran dengan tanggal kadaluarsa. Atau bisa karena penduduk di situ tidak bisa baca-tulis sehingga tidak mungkin tahu sekalipun mereka ternyata beli produk kadaluarsa.

Pada intinya, yang disebut ‘barang’ hasil produksi manusia di dunia ini, ternyata jumlahnya bisa jadi sangat buanyak, bisa melebihi kebutuhan pasarnya sendiri. Bahkan sampai bisa dibisniskan walau sudah kadaluarsa. Karena saking banyaknya itu, eman-eman kan kalau sampai ada barang masih baik yang terbuang sebelum berfungsi sebagaimana perasaanmu padanya yang belum-belum udah dihempas.

Itulah mengapa konsep mengelola sampah urutannya ‘Reduce – Reuse – Recycle’. Reduce (mengurangi) ada di depan diikuti reuse (memakai ulang), karena lebih baik tidak beli barang baru kalau masih ada barang yang bisa dipakai bahkan diperbaiki untuk memenuhi kebutuhan yang sama.

Memang betul, bahwa strategi ter-urgent dalam gerakan hijau adalah mendesak para pembuat kebijakan di negara dan dunia untuk membuat regulasi ramah lingkungan yang komprehensif dan berkelanjutan. Kebijakan pro-lingkungan yang juga tegas dan spesifiklah yang mampu menyasar—sebagai contoh—supermarket yang hanya ngikut tren go green dengan jualan tas belanja.

Mungkin nantinya supermarket-supermarket macam itu tidak perlu sampai produksi banyak-banyak tas belanjan kalau niatnya hanya pengen bikin “versinya” sendiri. Dan nantinya tidak perlu juga ada mbak-mas kasir yang berkewajiban menjualkan tas-tas itu, dengan meyakinkan orang untuk beli karena “warnanya lucu”.

Sebab rasa-rasanya, perjuangan di skala individu—salah satunya dengan pakai reusable shopping bag dan ehem… sedotan stainless steel—tidak sebanding dengan bertambahnya kerusakan alam yang terjadi tiap harinya.

Tapi yo ojo sampe, kita-kita yang tergerak go green secara pribadi ini tanpa sadar terseret sedikit demi sedikit dan nyemplung juga ke jebakan kapitalisme. Salah satunya seperti saya, yang maunya ngado benda ramah lingkungan, malah jadi menyemarakkan demand tas belanja custom.

Kalau diingat-ingat waktu dulu order tas belanja, yang sekarang saya pakai ini, motivasinya juga karena ingin “punya tas belanja yang keren”. Sebuah alasan tidak terpuji di mata idealisme go green. Semata-mata karena saya pernah sedikit malu waktu belanja di sebuah mal ternama pakai tas buluk bekas ater-ater hajatan, menerima cukup banyak plerokan saat menentengnya ke sana kemari. Ternyata gengsi saya masih lebih besar dibanding tujuan utama pakai tas belanja.

Pada akhirnya, overthinking terhadap tas belanja ini berujung pada tidak jadinya saya pesan tas belanja custom. Dan saya menelepon teman saya untuk tanya dia minta dikado apa, karena tentu lebih go green kalau saya memberi sesuatu yang ternyata sudah lama dia butuhkan. Diapun menjawab, “Ah nggak usah repot-repot. Doanya aja cukup.”

Rupa-rupanya dia cuma butuh doa, ghes... 😊